“Nah, ini dia, Pak ikannya.” Dua ekor ikan sudah masuk ke ember hitam berisi air. “Ikan apa ini, Pak” “Ini Ikan Papuyu.”
[caption id="attachment_174258" align="aligncenter" width="448" caption="Ikan Papuyu hasil pancingan di halaman rumah (dok. pribadi)"]
Saya memengangi ikan seukuran panjang telapak tangan saya dan lebar sekitar 5 cm. Lumayan.
“Wah…ini yang lumayan, Pak” Pak Amin mengagtkan saya. Saya lebih kaget lagi melihat Pak Amin sudah memegang Ikan sepanjang kurang lebih 30 cm dengan lebar 5 cm.
“Ini Gabus kan, Pak” saya menebak ikan cukup besar ini.
“Ya, disini dinamakan Haruwan. Ini satu kilonya Rp. 20.000,-. Kalau Papuyu sekilonya Rp. 30.000,-“
[caption id="attachment_174259" align="aligncenter" width="336" caption="Ikan Gabus (Haruwan) hasil pancingan di halaman rumah (dok. pribadi)"]
Saya langsung mengabadikan momen yang unik ini. Saya merasa beruntung sekali. Baru hari pertama di Kuala Kapuas sudah mendapat obyek liputan yang menarik dan unik. Saya jadi bersemangat untuk meneruskan kegiatan saya selama sebulan disini. Saya merasakan bahwa Tuhan sedang menghibur saya karena saya harus menjalani penelitian tentang kebakaran hutan dan lahan disini sendirian selama sebulan ke depan.
Saya menemukan sebuah kearifan hidup masyarakat di Kuala Kapuas menghadapi kondisi alam. Perubahan iklim yang terjadi saat ini tidak membuat masyarakat di Kuala Kapuas mengeluhkannya. Di Kuala Kapuas Kalteng, masyarakat yang hidup di kawasan genangan air karena pasang surut dari Sungai Kapuas sangat "menikmati" kehidupan mereka. Mereka sudah beradaptasi dan memanfaatkan genangan air untuk budidaya tanaman air seperti kangkung air dan juga menangkap ikan. Mereka tak mengeluhkan kondisi alam, sebaliknya mereka justru mensyukurinya.
Salam lestari!
*Catatan Perjalanan Penelitian di Kabupaten Kapuas