[caption id="attachment_168891" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Oleh : Achmad Siddik Thoha
Pada hari-hari awal serangan kedua Amerika Serikat ke Irak, sekelompok pasukan berangkat ke sebuah masjid setempat untuk menghubungi ulama utama kota itu. Mereka bermaksud meminta bantuan kepada ulama tersebut untuk mengorganisir distribusi suplai bantuan. Namun, segerombolan oran berkerumun, merasa takut kalau-kalau pasukan ini datang untuk menangkap pemimpin spiritual mereka atau menghancurkan masjid mereka, sebuah tempat suci.
Ratusan Muslim yang saleh mengelilingi pasukan-pasukan ini. Mereka melambai-lambaikan tangan di udara dan berteriak-teriak ketika mendekat ke arah pasukan bersenjata lengkap ini. Sang komandan, Letnan Kolonel Christoper Hughes, berpikir cepat.
Ia mengambil pengeras suara dan memerintahkan pasukannya untuk “berlutut”, artinya berlutut dengan satu lutut.
Kemudian ia memerintahkan untuk mengarahkan senapan mereka ke tanah.
Setelah itu, perintahnya adalah : “Tersenyum”.
Pada titik itu, suasana emosi kerumunan tersebut sangat berbeda. Beberapa orang memang masih berteriak-teriak, namun kebanyakan dari mereka sekarang membalas tersenyum. Beberapa orang menepuk punggung prajurit-prajurit itu ketika Hughes memerintahkan anak buahnya berjalan mundur secara perlahn-lahan dengan tetap tersenyum.
****
Bagaimana seandainya bila komandan pasukan AS itu panik dan tidak bisa membaca bahasa tubuh dan budaya kerumunan orang-orang. Sekiranya sang komandan tidak memiliki kecerdasan sosial, apa yang akan terjadi berikutnya? Kejadian yang paling memungkinkan, sang komandan akan memerintahkan anak buahnya untuk menodongkan senjata menyuruh kerumunan orang itu minggir dan meminta ulama itu keluar dari masjid. Kejadian terburuknya, sang komandan memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan gas air mata atau menembakkan peluru senapan ke udara bahkan agar kerumunan orang itu bubar.
Kisah diatas adalah ilustrasi yang dimuat di Buku Social Intelegence karya Daniel Goleman. Saya mengangkat kisah ini bukan untuk menyetujui invasi AS ke Irak atau membangga-banggakan ketangguhan mereka. Dengan kecerdasan sosial, peristiwa yang sangat rawan berujung bentrok fisik dan korban bisa dihindarkan dan berbalik pada simpati.
Lalu fakta apa yang kita lihat di Indonesia? Berapa banyakkah komandan polisi anti huru hara yang santun dan tersenyum ketika menghadapi demonstrasi buruh, petani atau mahasiswa? Berapa kah komandan polisi pamong praja yang tersenyum kepada pedagang kaki lima agar bisa berdialog sebelum kios-kios liarnya dibongkar. Berapa kalikah pernah diliput polisi anti terror yang menggunakan cara elegan dan santun saat menggeledah rumah seseorang yang masih disangka sebagai anggota teroris? Bagaimana kita memandang aparat keamanan saat menangani Kasus Mesuji, Kerusahan Bima, dan kasus yang berujung korban warga sipil?
Peristiwa yang serupa sangat sering terjadi di negeri kita dan melibatkan profesi yang sama, yaitu aparat keamanan. Peristiwa awalnya sama namun seringkali berakhir tragis. Kerusuhan yang berbuntut penembakan masyarakat sipil, penangkapan tanpa belas kasihan, penganiyaan pendemo saat ditangkap dan tindakan anarki lainnya, adalah rekaman peristiwa yang kerap kita saksikan di media.
Kecerdasan sosial yang diperlihatkan oleh Letnan Kolonel Christoper Hughes yang memadukan ketegasan yang terukur dengan baik dengan keahlian membaca orang inilah yang membedakan petugas penegak hukum yang baik atau pemimpin pasukan yang baik ketika berhadapan dengan orang-orang sipil yang sedang marah.
Betapa pentingnya aparat keamanan terutama komandan pasukan memiliki kecemerlangan sosial untuk bisa bertindak yang tepat meski itu harus menyalahi “kitab suci” bernama prosedur tetap (protap). Bila nurani yang berbicara, protap bisa diabaikan demi kepentingan yang lebih luas.
Bila bercermin pada hati, perintah komandan yang menyalahi norma bisa dipertimbangkan. Bukankah pasukan pengamanan itu adalah manusia yang punya hati, bukan robot yang digerakkan oleh komando. Bukankah demonstran dan rakyat sipil itu juga manusia, yang bila tewas akan meninggalkan duka dan beban berat bagi kelaurganya?
Mestinya polisi anti-anarkis itu punya banyak akal untuk membujuk demonstran atau massa. Semuanya tak harus diselesaikan dengan senjata, bahkan senyum pun lebih ampuh menjinakkan massa yang emosi daripada water canon, gas air mata atau senapan. Aparat keamanan, senyum dong!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H