Mohon tunggu...
Achmad Siddik Thoha
Achmad Siddik Thoha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pengajar di USU Medan, Rimbawan, Peneliti Bidang Konservasi Sumberdaya Alam dan Mitigasi Bencana, Aktivis Relawan Indonesia untuk Kemanusiaan, Penulis Buku KETIKA POHON BERSUJUD, JEJAK-JEJAK KEMANUSIAAN SANG RELAWAN DAN MITIGASI BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM. Follow IG @achmadsiddikthoha, FB Achmad Siddik Thoha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berhenti Sebentar, Mama!

7 Februari 2012   23:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:56 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang pria melintas di sebuah taman. Taman itu dihiasi dengan air mancur yang pada bagian tengahnya. Disekeliling air mancar terlihat bunga Iris merah muda yang sedang mekar .

Tiap hari dia melewati taman itu sebelum sampai di tempat kerjanya. Tempat kerja pria profesional muda ini adalah sebuah gedung pencakar langit. Rutinitas dan target kerja yang ketat membuat keindahan taman itu tak terlihat olehnya.

[caption id="attachment_161234" align="alignleft" width="357" caption="Image from Google"][/caption] Pagi itu, seperti ada sesuatu yang membuatnya ingin berhenti sejenak, Ia melihat seorang Ibu bersama anak kecil berumur sekitar 4 tahun berjalan bergegas. Sang Ibu menuntun putrinya dengan langkah cepat. Sementara sang anak tergopoh-gopoh mengiringi ibunya. Tiba-tiba sang anak menarik-narik tangan ibunya.

”Sebentar, Ma, berhenti dulu. Lihat Ma, ada pelangi di belakang air mancur.”

”Ayo, Adik, kita bisa ketinggalan bus, kalau tidak segera sampai halte sekarang.” sang ibu mencoba menolak tarikan tangan anaknya. Sang ibu kemudian menatap wajah memelas anaknya. Sang ibu merasa kasihan.

Pria itu berhenti dan terdiam. Ia ingin memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia menduga sang ibu pasti akan menuntun anaknya menuju halte bus. Pria itu melangkah mendekat ke tempat Ibu dan putrinya berdiri.

”Baiklah Adik, nanti juga ada bus lain.” Sang ibu membalas permintaan anaknya

Dugaan Pria itu salah. Ibu dan anak itu berjalan menuju air mancur di tengah taman itu. Pria itu pun mengikuti dari belakang dan ingin mengetahui kejadian berikutnya.

Sesampainya di air mancur yang dikelilingi bunga Iris, sang ibu berlutut sambil memeluk putrinya. Kecerian terbit dari wajah mereka karena bisa bersama-sama menikmati keindahan pelangi dan bunga Iris.

Sementara pria yang sejak tadi mengamati kejadian itu tertegun. Tak ada kata yang bisa terucap dari mulutnya. Taman itu kini laksana surga yang terhampar begitu indah di hadapannya. Pelangi dibalik percikan air mancur terlihat seperti lukisan indah di kanvas biru. Bunga Iris berwarna merah muda nampak seperti gadis cantik memakai mahkota indah.

Dia merasa malu terhadap dirinya. Sebelum hari ini, taman indah ini laksana benda mati tanpa makna. Air mancur yang mengalir bening dia anggap suara air yang berisik. Bunga Iris yang demikian indah seolah hanyalah warna alam tanpa rasa. Kesibukan telah membuatnya mati rasa. Seolah tak ada keindahan dari yang dilewatinya. Seolah tak ada waktu untuk menikmati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun