Mohon tunggu...
Achmad Rafsanjani
Achmad Rafsanjani Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi People Development. Belajar Menulis, Psikologi Sosial Politik. Penikmat Buku, Film dan Sepakbola.

Consume Less. Share More. Live Simply. What we do in life. Echoes in eternity. #Seperti yang dikatakan oleh Peter Ustinov dalam Aftertaste (1958), sedikit orang berhenti menjadi manusia, dan mulai menjadi gagasan, kemudian menjadi monumen, sampai akhirnya menjadi aftertaste: bukti kejayaan masa lalu yang menyisakan rasa tertentu di kepala-kepala generasi saat ini#

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Leiden is Lijden

26 Oktober 2019   11:59 Diperbarui: 29 Oktober 2019   18:57 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Orang tua yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yakni selama hidupnya melarat'
(Catatan harian Prof Schermerhorn, ketua delegasi Belanda pada Perundingan Linggarjati, tanggal 14 Oktober 1946)


Haji Agus Salim adalah salah satu the founding fathers Indonesia, karena termasuk dalam Panitia 19 yang merumuskan UUD 1945. Bahkan, ia bersama Djajadiningrat dan Soepomo berjasa dalam menyempurnakan redaksional batang tubuh UUD tersebut.

Dalam rapat-rapat BPUPKI, Bung Karno kerap menyebut Haji Agus Salim sebagai 'orang besar yang sudah tua', the grand old man. Bukan karena usianya yang 61 tahun, tetapi juga karena pengalaman internasional dan penguasaan bahasa-bahasa asing.

Sebagai tokoh yang dibesarkan dalam adat Minang, Haji Agus Salim amat menonjol dalam tiga hal: pandai berkata-kata, dinamis, dan sekaligus kosmopolit.

Kentalnya budaya lisan Minang membuatnya cakap dalam berdebat, dengan gaya bahasa kritis dan tajam, tapi disampaikan secara halus serta cerdas. Kompetensi ini dipergunakannya dalam mengelola beberapa surat kabar; yang menyebarkan gagasan Indonesia merdeka, namun tanpa pernah ditangkap pemerintah Belanda.

Ulama Intelektual
Haji Agus Salim (8 Oktober 1884 - 4 November 1954) lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, dengan nama lahir Mashudul Haq. Ia anak dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim (seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau) dan Siti Zainab.

Ia menempuh pendidikan di sekolah dasar Belanda ELS (Europeese Lager School), dan HBS (Hogere Burger School) di Batavia. Meski lulus dengan nilai terbaik diantara HBS se-Hindia Belanda, Haji Agus Salim sebagai inlander gagal mendapatkan beasiswa sekolah kedokteran di Belanda.

Pada 1905, Haji Agus Salim kemudian bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi, sebagai penerjemah dan mengelola urusan haji. Di Jeddah inilah ia berkesempatan memperdalam ilmu agama pada pamannya, Syekh Ahmad Khatib.

Pengalaman belajar ini menempa dirinya menjadi ulama intelektual, sekaligus menguasai bahasa Arab dan Turki. Padahal, sebagai lulusan HBS ia telah menguasai empat bahasa lain: Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis.

Dengan perpaduan antara kecerdasan bahasa, daya analisa dan pemahaman agama Islam sebagai teologi pembebasan, Haji Agus Salim memutuskan untuk terjun dalam politik melalui SI (Syarikat Islam).

Di usia 41 tahun, Haji Agus Salim membentuk Jong Islamieten Bond (JIB). Melalui JIB, banyak lahir generasi Muslim didikan Barat sekuler tapi tetap beriman. Dari Haji Agus Salim, para pemuda mengenal Islam secara cerdas, kritis, komprehensif, serta modern. Dan secara tidak langsung memicu kelahiran generasi Muslim moralis-idealis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun