Mohon tunggu...
Achmad Rafif
Achmad Rafif Mohon Tunggu... Penulis - Begitu menyedihkan jadi anak bangsa merdeka | aku, sederhana namun berirama.

Novel "Intuisi" sedang dalam proses penulisan. Blog Lama : https://www.kompasiana.com/achmadrafif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bawah Lentera Bunda

7 Februari 2022   14:51 Diperbarui: 7 Februari 2022   14:56 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama ku Jajang, dalam umurku yang baru seumur jagung ini aku telah merasakan betapa hidup selalu mengawasiku dengan bayang-bayang kesedihan. Mungkin, Tuhan telah membuat aku menjadi seorang anak tanpa Ayah saat ini karena Tuhan tahu betapa aku kuat dalam menjalani kehidupan ini. Bukan, Ayah belum mati. Ayah ku masih hidup. Di dalam Penjara Pondok Rajeg karena suatu ulahnya memakai Zat Psikotropika. Mengenaskan, bukan? Padahal di umur ku yang masih belia ini belum ku rasai betul kasih sayang seorang Ayah. 

Hanya seonggak tahun aku dan Ayah masih bermain dikasur sebelum pada waktunya ia ditangkap oleh polisi dirumah kami. Aku masih ingat sebelum Ayah dibawa oleh polisi ia menatap ku dalam dan menangis. Dan aku? Belum lagi aku mengerti karena umur ku yang masih kecil ini, aku hanya mengira Ayah diajak pergi bersama temannya. Lalu mengapa pula Ayah menangis? Ah! Aku juga tak mengerti, betul-betul aku tidak paham apa yang terjadi karena usia ku baru dua tahun pada saat itu. Yang aku tahu setelah hari itu Ayah belum lagi pulang, sudah hampir satu tahun lamanya.

Bunda ku seorang pekerja keras. Walaupun Bunda bekerja dengan keras dan giat ia tidak pernah melalaikan tugasnya sebagai seorang ibu. Dan, semenjak kejadian itu aku sangat tahu perasaan yang Bunda sedang rasakan. Suaminya ditangkap polisi disaat perutnya sedang mengandung Lima bulan adik kembar ku. Tragis, bukan? Sebuah kondisi yang memaksa Bunda harus bekerja seorang diri demi menghidupi kami anak-anaknya.

"Jang, Bunda berharap kamu menjadi manusia yang baik dan jujur. Jajang juga harus sudah mulai mengerti dan harus menjadi contoh baik untuk adik-adik mu nanti , ya?"Bunda ciumi kening ku dan dipeluknya tubuh ku. Pada hari itu umur ku beranjak tiga tahun tapi ku kira wejangan Bunda telah aku mengerti dan itu laksana suara harpa di taman hijau. Merdu, merdu sekali. Dan semenjak hari itu juga aku berjanji pada diriku sendiri akan jadi seperti yang Bunda katakan. Puh! Anak sekecil aku sudah harus menerima kegundahan semacam ini.

Empat bulan setelah Ayah ditangkap adik kembar ku lahir. Bunda melahirkan bukan dengan cara normal. Menurut obrolan yang ku dengar dari Nenek Bunda akan dioperasi untuk melahirkan adik kembar ku karena kondisi kehamilannya yang tidak memungkinkan untuk lahir secara normal. Betapa aku tahu keadaan Bunda sangatlah rapuh. Dan Bunda melahirkan adik kembar ku tanpa seorang suami disampingnya. Tuhan! Betapa memilukan dan menyakitkan kehidupan yang harus aku jalani. Usia kecil ku bukan seperti anak-anak lain yang bisa main dengan bebasnya tanpa pikiran apapun. Tapi aku, entah suatu karunia dari Tuhan aku bisa begitu peka terhadap apa yang sedang terjadi di dalam kehidupan keluarga kami.

Aku bisa merasakan sesuatu yang sangat membuat hati Bunda hancur adalah ketika salah satu adik kembar ku harus direlakan untuk di adopsi oleh saudara Nenek. Dengan alasan ekonomi. Ini semua pasti karena ulah Ayah, karena kebodohannya kami harus menelan penderitaan ini. Bunda harus membanting tulangnya, sekeras-kerasnya untuk mencari uang dan menghidupi aku dan adik ku. Bukan hanya harus bekerja; Bunda harus mengurusi segala sesuatu yang aku dan adik ku butuhkan. Bayangkan, jika tidak ada Nenenk yang mengurusi aku dan adik ku pada saat Bunda bekerja, bakal jadi apa kami? Dan, apakah semua ini bakal tiada berujung? Atau semua hanya sementara waktu? Tak ada yang tahu pasti apa yang akan datang di hari depan, dalam kehidupan manusia yang dinamis ini baik dan buruk selalu melekat di setiap detik semua yang hidup. Semua, tanpa terkecuali.

Waktu bekerja Bunda dibagi menjadi dua shift. Pagi, dan siang. Jika Bunda masuk pagi aku baru akan bertemu dengannya di sore hari, itu pun kalau Bunda tidak ada kerjaan tambahan kami baru bisa bermain sebentar karena Bunda juga harus mengurus adik perempuan ku yang masih bayi dan segala urusan dirumah. Dalam hatiku; betapa hebat pribadi Bunda ku yang kuat ini. Kalau Bunda masuk siang aku baru akan beretemu dengannya pada keesokan hari karena Bunda pulang terlalu larut.

 Sepulang kerja Bunda selalu mencium aku dan Ara adik perempuan ku. Kemudian Bunda selalu mengajak kami bermain bersama. Aku melihat Bunda terlihat lelah sekali tapi alangkah hangatnya lentera yang Bunda pancarkan untuk kami anak-anaknya. Bunda yang tak kenal lelah mengurusi kami dan mencari nafkah untuk kami. Pada suatu waktu Bunda bilang kepada ku :

            "Nak, Bunda sangat mencintai kamu dan adik-adik mu. Kamu anak pertama dan laki-laki pula. Maafkan Bunda jika Bunda selalu bercerita denganmu dan membuat mu bersedih. Tapi janganlah berkecil hati, karena hidup selalu membawa kita pada sesuatu yang baru. Keadaan semacam ini tidak akan berlarut-larut bersama kita. Kau harus yakin bahwa kehidupan akan memberikan kita suatu cahaya yang terang benderang. Suatu saat nanti."  Katanya, sambil menggendong Ara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun