contextual learning. Ini istilah memang tidak asing di telinga saya atau pendengaran Anda.
Seorang kawan menjelaskan pengalamannya dengan berapi-api bagaimana ia membawa siswa untuk "mengalami" proses belajar di sekolah. Ia menyebut satu istilah yang membuat saya tertarik menyimak penuturannya:Saya mengalami contextual learning jauh sebelum istilah ini ngetrend di kalangan para guru. Puluhan tahun yang lalu ketika kanak-kanak saya diperintah Bapak agar azan di mushola. "Wes to, iso-iso," kata Bapak. Sudahlah, kamu pasti bisa. Itu saat pertama kali saya belajar dan "mengalami" azan di mushola.
Pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) atau contextual learning telah lama dianggap sebagai salah satu pendekatan yang efektif dalam dunia pendidikan. Dengan menempatkan pengalaman nyata dan relevansi konteks sebagai pusat proses belajar, metode ini menjanjikan pembelajaran yang lebih bermakna dan aplikatif.
Namun, bagaimana jika konsep ini ditelaah melalui lensa yang berbeda untuk membongkar dan memaknai ulang asumsi yang tersembunyi di balik praktik dan teori pembelajaran berbasis pengalaman?
Membongkar Ruang Sempit "Pengalaman"
Salah satu pilar utama pembelajaran berbasis pengalaman adalah keyakinan bahwa pengalaman merupakan sumber belajar yang autentik. Tetapi, apakah pengalaman benar-benar netral dan universal? Kita menyadari bahwa pengalaman tidak pernah murni; ia selalu diwarnai oleh interpretasi subjektif, konstruksi budaya, dan "relasi kuasa" tertentu.
Misalnya, pengalaman yang dihadirkan dalam pembelajaran sering kali dipilih berdasarkan norma-norma dominan yang berlaku. Sebuah proyek pembelajaran bisa jadi mencerminkan bias-bias tertentu yang mengabaikan realitas kelompok yang terpinggirkan. Dengan demikian, kita patut bertanya: pengalaman siapa yang dianggap valid? Siapa yang memutuskan pengalaman mana yang "layak" dijadikan bagian dari proses pembelajaran?
Contextual learning menekankan pentingnya relevansi konteks dalam proses pembelajaran. Namun, muncul persoalan baru: konteks tidak pernah stabil atau tunggal; ia selalu terbuka untuk negosiasi. Sedangkan dalam praktiknya konteks sering kali dipaksakan oleh kurikulum atau kebijakan institusi pendidikan. Tersisa sedikit ruang bagi siswa untuk mendefinisikan konteks mereka sendiri.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah: konteks mana yang dianggap relevan, dan atas dasar apa ia disebut relevan? Apakah siswa memiliki keleluasaan untuk membentuk konteks pengalaman mereka sendiri, ataukah mereka sekadar menjadi konsumen dari konteks yang telah dirancang sebelumnya? Dengan memahami bahwa konteks selalu bersifat dinamis dan subyektif, pembelajaran berbasis pengalaman dapat diperluas menjadi lebih inklusif dan reflektif terhadap kebutuhan siswa yang beragam.
Autentik Menurut Siapa?
Dalam pembelajaran berbasis pengalaman, aktivitas autentik sering kali menjadi daya tarik utama. Aktivitas ini dianggap mencerminkan realitas dan memberikan pengalaman yang "sebenarnya." Namun, apa yang dimaksud dengan "autentik"? Bukankah autentitas itu sendiri adalah suatu konstruksi yang dibangun oleh elemen-elemen pengalaman? Aktivitas autentik tidak berdiri sendiri. Ia dapat atau mungkin saja mencerminkan bias-bias budaya atau justru melanggengkan hierarki tertentu---yang tidak membawa siswa tiba pada autentitas diri mereka.
Sebagai contoh, tugas proyek pembelajaran yang dianggap autentik di strata sosial kelas atas mungkin tidak relevan atau bahkan eksklusif bagi kelompok lain. Dengan menggugat gagasan autentitas ini, kita membuka ruang untuk menciptakan aktivitas belajar yang lebih plural, merangkul keberagaman perspektif, dan memberikan makna yang lebih inklusif.
Dalam pembelajaran berbasis pengalaman, guru sering kali berperan sebagai fasilitator. Benarkah peran guru ini membebaskan siswa dalam membentuk pengalaman belajar? Kita berhak mempertanyakan struktur otoritas yang tetap hadir dalam proses tersebut. Guru atau kurikulum yang menentukan pengalaman mana yang "layak" dipelajari pada dasarnya masih merepresentasikan relasi kuasa tertentu.
Pada konteks itu kita mengajukan pertanyaan penting: apakah siswa benar-benar memiliki otonomi dalam menentukan pengalaman belajar mereka, ataukah mereka hanya menjalankan pengalaman yang telah dikurasi sebelumnya? Dalam pembelajaran yang lebih demokratis, siswa harus diberi ruang untuk menjadi subjek aktif, bukan sekadar objek dari pengalaman yang telah dirancang.
Menemukan Makna Baru
Kita tidak sekadar menawarkan kritik, tetapi juga membuka peluang untuk makna baru. Dalam konteks pembelajaran berbasis pengalaman, kita dapat melihat pembelajaran sebagai ruang terbuka yang penuh kemungkinan. Alih-alih membatasi pengalaman siswa pada konteks tertentu, ruang pembelajaran ini dapat menjadi arena eksplorasi makna yang melampaui batasan tradisional.
Siswa, misalnya, dapat didorong untuk menilai pengalaman mereka sendiri secara kritis, menggali makna yang tersembunyi, dan menciptakan narasi baru yang lebih relevan bagi diri mereka. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya proses pembelajaran, tetapi juga mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia yang kompleks dan penuh ambiguitas.
Jadi, pembelajaran berbasis pengalaman tidak sekadar dilihat sebagai metode transfer pengetahuan yang relevan secara kontekstual. Sebaliknya, ia menjadi arena kritis untuk membongkar asumsi, membuka ruang interpretasi baru, dan menantang struktur relasi kuasa dalam pendidikan. Dengan mengadopsi pendekatan ini, pembelajaran berbasis pengalaman dapat dimaknai ulang sebagai proses yang lebih inklusif, reflektif, dan relevan dengan keberagaman siswa di berbagai konteks.
Pada akhirnya, ini bukan hanya soal "mengajar," tetapi juga soal menciptakan ruang untuk berpikir, bertanya, dan menemukan makna bersama. Jika ini terjadi, alangkah indah proses belajar anak-anak kita.[]
Jombang, 24 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H