Sebagai contoh, tugas proyek pembelajaran yang dianggap autentik di strata sosial kelas atas mungkin tidak relevan atau bahkan eksklusif bagi kelompok lain. Dengan menggugat gagasan autentitas ini, kita membuka ruang untuk menciptakan aktivitas belajar yang lebih plural, merangkul keberagaman perspektif, dan memberikan makna yang lebih inklusif.
Dalam pembelajaran berbasis pengalaman, guru sering kali berperan sebagai fasilitator. Benarkah peran guru ini membebaskan siswa dalam membentuk pengalaman belajar? Kita berhak mempertanyakan struktur otoritas yang tetap hadir dalam proses tersebut. Guru atau kurikulum yang menentukan pengalaman mana yang "layak" dipelajari pada dasarnya masih merepresentasikan relasi kuasa tertentu.
Pada konteks itu kita mengajukan pertanyaan penting: apakah siswa benar-benar memiliki otonomi dalam menentukan pengalaman belajar mereka, ataukah mereka hanya menjalankan pengalaman yang telah dikurasi sebelumnya? Dalam pembelajaran yang lebih demokratis, siswa harus diberi ruang untuk menjadi subjek aktif, bukan sekadar objek dari pengalaman yang telah dirancang.
Menemukan Makna Baru
Kita tidak sekadar menawarkan kritik, tetapi juga membuka peluang untuk makna baru. Dalam konteks pembelajaran berbasis pengalaman, kita dapat melihat pembelajaran sebagai ruang terbuka yang penuh kemungkinan. Alih-alih membatasi pengalaman siswa pada konteks tertentu, ruang pembelajaran ini dapat menjadi arena eksplorasi makna yang melampaui batasan tradisional.
Siswa, misalnya, dapat didorong untuk menilai pengalaman mereka sendiri secara kritis, menggali makna yang tersembunyi, dan menciptakan narasi baru yang lebih relevan bagi diri mereka. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya proses pembelajaran, tetapi juga mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia yang kompleks dan penuh ambiguitas.
Jadi, pembelajaran berbasis pengalaman tidak sekadar dilihat sebagai metode transfer pengetahuan yang relevan secara kontekstual. Sebaliknya, ia menjadi arena kritis untuk membongkar asumsi, membuka ruang interpretasi baru, dan menantang struktur relasi kuasa dalam pendidikan. Dengan mengadopsi pendekatan ini, pembelajaran berbasis pengalaman dapat dimaknai ulang sebagai proses yang lebih inklusif, reflektif, dan relevan dengan keberagaman siswa di berbagai konteks.
Pada akhirnya, ini bukan hanya soal "mengajar," tetapi juga soal menciptakan ruang untuk berpikir, bertanya, dan menemukan makna bersama. Jika ini terjadi, alangkah indah proses belajar anak-anak kita.[]
Jombang, 24 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H