Meneladani sifat Rasulullah? Memang demikian seharusnya kita menempatkan utusan Tuhan sebagai uswah hasanah, teladan yang baik.
Kalau pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara meneladani sifat Rasulullah, informasi yang menjawab tema how to telah melimpah ruah. Tips dan kiat sukses meneladani Rasulullah berjajar-jajar di rak toko buku. Silakan ambil satu atau dua kiat lalu terapkan dalam hidup sehari-hari.
Bagaimana jika pertanyaannya digeser misalnya, mengapa kita meneladani sifat Rasulullah? Mengapa keteladanan itu dijumpai pada diri Rasulullah? Mengapa yang jadi teladan utama adalah Rasulullah?
Akurasi pertanyaan tersebut bisa dipertajam: yang diteladani profil Muhammad sebagai Nabi ataukah Rasul? Di manakah letak perbedaan sekaligus irisan aksentuasi antara Nabi dan Rasul? Mengapa pada fakta sejarah teologi samawi ada Nabi yang bukan Rasul dan ada Nabi yang sekaligus Rasul?
Saya harus memohon maaf kepada Anda atas semua pertanyaan itu. Bukan tujuan saya membuat kita pusing berjamaah. Kita memerlukan pintu masuk setepat-tepatnya untuk mengembarai cakrawala keteladanan sosok Muhammad Saw.
Kenabian dan kerasulan itu murni wewenang Tuhan kepada siapa "pangkat" dan "tugas" itu diberikan. Pun kenabian dan kerasulan Muhammad Saw. Itu keputusan Tuhan.
Anehnya, hal itu malah kita pakai alibi untuk pembenaran pribadi.
"Muhammad itu Nabi. Dijaga Tuhan. Dia maksum. Lha kita ini apa?"
"Nabi Ibrahim gak mempan dibakar. Tentu saja, lha wong dia Nabi."
Alibi semacam itu menutup pintu di mana nilai-nilai keteladanan hidup Muhammad Saw terhalang oleh ambiguitas kita sendiri. Satu sisi kita menjadikan Muhammad Saw sebagai teladan, di sisi yang lain kita memasang disclaimer untuk mengunci pembenaran kita.
Glorifikasi Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul yang suci nan agung justru menanamkan imaji yang nyaris tak tersentuh oleh kemanusiaan kita yang bebal, lemah dan penuh dosa.
Meneladani Manusia Muhammad Saw
Kalau meneladani kenabian dan kerasulan sarat dengan alibi dan disclaimer khas subjektivisme kita masing-masing, saya menawarkan pintu masuk yang lain, yakni melalui pintu kemanusiaan. Kita dan Muhammad Saw sama-sama manusia.
Memang ada senandung yang menyatakan, "Muhammadun basyarun laa kal basyari, bal huwa kal yaquti baynal hajari." Muhammad Saw adalah seorang manusia namun bukan manusia biasa. Dia laksana batu permata di antara bebatuan biasa.
Frase "bukan manusia biasa" menjadi lorong untuk memasuki semesta keteladanan sosok Muhammad Saw yang kualitas kemanusiaannya "laksana batu permata."
Basyariah atau potensi kemanusiaan Muhammad Saw tidak berbeda dengan kita. Namun, Muhammad mengolah basyariah-nya sedemikian rupa sehingga pada usia 40 tahun kualitas kepribadiannya nyambung dan kompatibel dengan wahyu Tuhan.
Sifat Rasul: Empat yang Satu, Satu yang Empat
Sejak usia muda manusia Muhammad dikenal sebagai pribadi yang shiddiq. Apa itu shiddiq? Ia berasal dari kata dasar (mashdar) shidqan (shadaqa-yashduqu). Ash-shidqu, jujur, adalah lawan kata dari al-kadzibu, bohong, dusta.
Shiddiq merupakan bentuk penekanan makna kata yang lebih kuat (shighat mubaalaghah) dari shidqun. Sifat shiddiq yang melekat pada manusia Muhammad Saw bukanlah kejujuran biasa, melainkan sifat jujur yang sangat tinggi kualitas dan konsistensinya.
Fondasi sifat shiddiq adalah sungguh-sungguh. Tidak mencla-mencle. Tidak isuk dele sore tempe, kata orang Jawa. Pagi hari bersikap kedelai, sore hari berubah sikap jadi tempe. Tidak oportunistik apalagi hipokrit.
Manusia Muhammad Saw selalu sungguh-sungguh saat bertutur kata dan bertindak. Proyeksinya tidak semata-mata kesungguhan itu sendiri, melainkan kebaikan bersama.Â
Dalam setiap kebaikan ada keselarasan dan keseimbangan---harmonisasi pada setiap perangkat fakultas kesadaran manusia yang menghubungkan realitas internal dan eksternal, yang absolut dan yang nisbi.
Bagi manusia shiddiq kenyataan adalah kenyataan, realitas adalah realitas. Kenyataan dan realitas dilihat secara sungguh-sungguh dan diterima apa adanya.Â
Empat sebagai hasil penjumlahan dua ditambah dua, diterima dan disampaikan sungguh sebagai empat. Tanpa pamrih surga atau neraka, tanpa iming-iming hadiah, tanpa janji-janji jabatan.
Konsistensi bersikap shiddiq akan membentuk sifat amanah. Ini akibat logis bagi orang yang memiliki kualitas kejujuran yang konsisten dan sungguh-sungguh. Ia bukan hanya dipercaya; bahkan apa pun dan siapa pun akan aman berada di sampingnya. Ia tidak menjadi ancaman bagi apa pun dan siapa pun.
Manusia yang memiliki profesi, jabatan, atau pekerjaan yang dilandasi sifat shiddiq dan amanah bukan hanya dicari-cari pihak lain karena semata-mata kualifikasi profesionalitas. Lebih dari itu, ia memiliki kualitas kepribadian yang mengamankan sekaligus menyodorkan kebenaran, kebaikan, keindahan. Ia dibutuhkan banyak pihak.
Kesuksesan itu tidak dinikmatinya sendiri. Kebaikan harus selalu berada dalam keselarasan dan keseimbangan agar bisa mengamankan. Ia tidak berhenti pada sukses pribadi. Ia melakukan harmonisasi melalu sifat tabligh, menyampaikan apa yang diperoleh kepada orang lain.
Dalam konteks meneladani aplikasi rangkaian sifat shiddiq dan amanah, tabligh bukan sekadar menyampaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Penyampaian ini bisa dimaknai secara kontekstual.
Orang yang hidupnya dalam kelapangan: lapang harta benda, lapang ilmu, lapang wewenang, lapang sikap legawa lalu menyampaikan kelapangan yang dimilikinya kepada pihak yang membutuhkan, itu bisa dimaknai sebagai bentuk penerapan sifat tabligh.
Shiddiq---yang berbuah amanah; amanah yang berbuah tabligh---akan dipuncaki sifat fathonah. Kalau memakai term kecerdasan modern, fathonah lebih dari sekadar kecerdasan intelektual, emosional, spiritual. Orang Jawa menyebutnya waskita.
Profil yang memiliki fathonah adalah ulul albab (Q.S. Ali Imran: 190-191). Kecerdasan yang outcome pikiran, tutur kata, tindakan serta semua perangkat fakultas kesadaran bermuara pada: "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."
Sifat shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah merupakan empat dalam satu, sekaligus satu dalam empat. Ia bisa dikerjakan sebagai tahapan, sekaligus kesadaran yang saling mengisi dan diisi.
Selama empat puluh tahun sebelum diangkat menjadi Rasul, manusia Muhammad Saw mengolah empat dalam satu dan satu dalam empat itu dalam laku hidup basyariah-nya.Â
Dan sebagai manusia, kita pun diberi potensi untuk bisa menirunya, karena sosok yang dijadikan teladan adalah juga manusia.[]
Jombang, 12 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H