Glorifikasi Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul yang suci nan agung justru menanamkan imaji yang nyaris tak tersentuh oleh kemanusiaan kita yang bebal, lemah dan penuh dosa.
Meneladani Manusia Muhammad Saw
Kalau meneladani kenabian dan kerasulan sarat dengan alibi dan disclaimer khas subjektivisme kita masing-masing, saya menawarkan pintu masuk yang lain, yakni melalui pintu kemanusiaan. Kita dan Muhammad Saw sama-sama manusia.
Memang ada senandung yang menyatakan, "Muhammadun basyarun laa kal basyari, bal huwa kal yaquti baynal hajari." Muhammad Saw adalah seorang manusia namun bukan manusia biasa. Dia laksana batu permata di antara bebatuan biasa.
Frase "bukan manusia biasa" menjadi lorong untuk memasuki semesta keteladanan sosok Muhammad Saw yang kualitas kemanusiaannya "laksana batu permata."
Basyariah atau potensi kemanusiaan Muhammad Saw tidak berbeda dengan kita. Namun, Muhammad mengolah basyariah-nya sedemikian rupa sehingga pada usia 40 tahun kualitas kepribadiannya nyambung dan kompatibel dengan wahyu Tuhan.
Sifat Rasul: Empat yang Satu, Satu yang Empat
Sejak usia muda manusia Muhammad dikenal sebagai pribadi yang shiddiq. Apa itu shiddiq? Ia berasal dari kata dasar (mashdar) shidqan (shadaqa-yashduqu). Ash-shidqu, jujur, adalah lawan kata dari al-kadzibu, bohong, dusta.
Shiddiq merupakan bentuk penekanan makna kata yang lebih kuat (shighat mubaalaghah) dari shidqun. Sifat shiddiq yang melekat pada manusia Muhammad Saw bukanlah kejujuran biasa, melainkan sifat jujur yang sangat tinggi kualitas dan konsistensinya.
Fondasi sifat shiddiq adalah sungguh-sungguh. Tidak mencla-mencle. Tidak isuk dele sore tempe, kata orang Jawa. Pagi hari bersikap kedelai, sore hari berubah sikap jadi tempe. Tidak oportunistik apalagi hipokrit.
Manusia Muhammad Saw selalu sungguh-sungguh saat bertutur kata dan bertindak. Proyeksinya tidak semata-mata kesungguhan itu sendiri, melainkan kebaikan bersama.Â