Matriks hukum Islam tersebut pada dasarnya tidak berfungsi dalam ranah ibadah mahdlah (personal) saja, melainkan menemukan fungsi aplikatifnya dalam lingkup ibadah muamalah (sosial).
Simulasi sederhana, misalnya, setiap warga sekolah harus (wajib) untuk saling tersenyum dan menyapa, menghargai pendapat orang lain, meletakkan sampah pada tempatnya, dan seterusnya.
Indikator perilaku itu disusun secara detail, berkesinambungan, dan dievaluasi secara berkala. Melalui komunikasi yang efektif kepada warga sekolah dan orangtua peserta didik, kepala sekolah memandu sekaligus memberi contoh penerapan standar perilaku tersebut.
Pada konteks yang lebih luas, budaya sekolah menuntun warga sekolah menerapkan norma, nilai, akhlak dan perilaku yang terpuji.Â
Islam bukan hanya mewajibkan umatnya shalat lima waktu, berpuasa, atau pergi haji. Lebih dari itu: budaya sekolah yang menemukan spirit Ramadhan membentuk keseimbangan pengalaman beragama melalui amal saleh yang manfaatnya dirasakan orang lain.
Budaya sekolah yang menyeimbangkan praktik ibadah mahdlah dan ibadah muamalah, iman dan amal shalih, saleh individual dan saleh sosial, cerdas kognitif, afektif dan psikomotorik. Hingga peserta didik pun mengerti dan mengalami bahwa dualisme itu sesungguhnya lebur dalam kebijaksanaan dan keindahan perilaku.
Apakah ada pencapaian karakter peserta didik yang kualitasnya mengungguli kemampuan berperilaku secara seimbang? Kecuali kita memahami pengertian karakter secara lebih sempit, cupet, dan picik. Semoga tidak.[]
Jagalan, 6 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H