Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Spirit Bulan Ramadhan Belum Menjadi Fondasi Budaya Sekolah?

6 April 2022   03:52 Diperbarui: 6 April 2022   03:57 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Ramadhan adalah bulan pembelajaran, bulan madrasah, bulan yang menjadi wahana pendidikan. Tak terkecuali di lingkungan sekolah, bulan Ramadhan perlu diserap spiritnya untuk, misalnya, meneguhkan kembali penguatan pendidikan karakter.

Apakah sekolah memiliki prioritas terhadap penguatan pendidikan karakter selama bulan Ramadhan? Prioritas yang tentu saja tidak sekadar formalitas, seperti kewajiban siswa meminta tanda tangan atau paraf setelah mengikuti shalat tarawih. Bukan pula sekadar kegiatan mengaji, baca tulis Al-Qur'an, atau latihan sembahyang.

Kalau formalitas semacam itu masih saja terulang setiap tahun, itu artinya penguatan pendidikan karakter jalan di tempat. Stagnan. Stagnasi itu tidak bisa ditutupi oleh gencarnya kampanye artifisial maupun Peraturan Presiden Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

Kegiatan religius yang bersifat parsial, sepotong-potong, apalagi tidak berbasis data penelitian, misalnya, apakah peserta didik mampu membaca Al-Qur'an (BTQ) hasil proses belajar di sekolah ataukah dari luar sekolah, dan pihak sekolah tetap ngotot mengadakan kegiatan baca tulis Al-Qur'an di sekolah---justru semakin menjauhkan panggang dari api.

Alih-alih membentuk karakter, kegiatan religius di sekolah yang dijalankan sebagai formalitas tahunan dikhawatirkan semakin menenggelamkan peserta didik pada formalisme agama yang sempit dan kering. Kalau hal itu benar terjadi kita bisa membayangkan bagaimana nasib kehidupan beragama di masa akan datang.

Tak cukup mengandalkan kegiatan religius, selama bulan Ramadhan kepala sekolah dan pemangku kepentingan sekolah semestinya sudah memiliki visi yang hendak dicapai dan misi yang harus dikerjakan.

Visi dan misi pendidikan selama bulan Ramadhan menjadi fondasi untuk membangun budaya sekolah. Spirit bulan Ramadhan menyumbangkan asumsi dasar bahwa inilah saat yang tepat melakukan penyucian diri serta memberikan manfaat pada sesama (amal shalih).

Asumsi dasar itu dirumuskan dalam nilai perbuatan yang memandu praktik dan perilaku setiap warga sekolah. Asumsi dasar, nilai perbuatan, praktik dan perilaku selama bulan Ramadhan merupakan komponen pembentuk budaya sekolah.

Budaya sekolah yang dirumuskan melalui spirit bulan Ramadhan akan selalu relevan pada bulan-bulan berikutnya. Artinya, spirit tersebut dapat dipertahankan, dikembangkan, ditindaklanjuti melalui komunikasi yang efektif serta penilaian kinerja secara berkala.

Selama satu bulan Ramadhan warga sekolah dipandu oleh standar nilai perilaku. Standarnya bisa diambil dari lima matriks hukum Islam. Ada perilaku yang harus dikerjakan (wajib), sebaiknya dikerjakan (sunah), boleh dikerjakan (mubah), sebaiknya tidak dikerjakan (makruh), dan jangan dikerjakan (haram).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun