Ketika seseorang berada di ruang publik yang ditagih bukan apakah kamu sregep shalat, melainkan output dan produk sosial dari shalat.
Semua ritual agama (Islam) yang wajib dikerjakan pemeluknya selalu berdialektika dengan kehidupan yang lebih luas.
Memakai "kaca mata" rasa manis dan gula, shalat adalah tata aturan formal yang tak ubahnya seperti butiran gula. Sedangkan rasa manis dari shalat adalah mencegah perbuatan keji dan munkar.Â
Perilaku tidak keji dan munkar diterapkan oleh orang yang mengerjakan shalat. "Rasa manis"-nya dirasakan tidak hanya sesama orang Islam, melainkan oleh semua manusia bahkan lingkungan dan semesta.
Persoalannya adalah manakala ritual agama dijadikan lebih penting dari output sosial. Pada konteks ini orang menyimpulkan bahwa kita memang beragama tapi belum beriman.
Hanya tahu gula tapi tidak merasakan manisnya gula.
Itu satu hal tentang bagaimana kita selama ini mengalami ketidakseimbangan memahami rasa manis dan melihat gula.
Satu pertanyaan lagi.Â
Antara pendidikan dan sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan, pengetahuan dan ilmu, membaca (iqra', bacalah!) dan literasi---mana rasa manis dan mana gula?
Di antara keduanya, apa yang selalu dianggap lebih penting, dijadikan ceremonial, dan diagung-agungkan pencapaiannya?
Selamat berlibur. Jangan lupa menikmati manisnya hari Minggu.[]
Jagalan, 140620