Gula memang manis rasanya. Tapi, yang rasanya manis bukan hanya gula. Itu pun rasa manisnya memiliki gradasi yang tak mudah dirumuskan.
Ada gula batu, gula pasir, gula aren, gula Jawa---semuanya manis dan gradasi manisnya berbeda.
Yang ingin saya kemukakan di awal tulisan ini adalah cara berpikir "pokoknya": pokoknya, yang manis itu pasti gula. Selain gula rasanya tidak manis.
Saking ngefans-nya dengan gula, sikap berpikir pokoknya jadi menyempit. Pokoknya, yang manis itu pasti gula pasir. Selain gula pasir rasanya tidak manis.
Fanatisme adalah ketika gula pasir dianggap lalu dijadikan satu-satunya penghasil rasa manis. Bahkan rasa manis dari sesama jenis gula, kalau tidak berasal dari gula pasir, ia tidak manis. Minimal rasa manisnya tidak diakui.
Demikianlah proses berpikir yang sempit, dangkal dan cupet kian menggejala dan menjadi virus yang menyerang akal.
Padahal antara manis dan gula terbentang jarak yang "entah". Orang tidak lagi bisa membedakan antara rasa manis dan bentuk gula. Cara berpikir yang sempit, dangkal dan cupet hanya mengetahui bahwa rasa manis hanya dihasilkan oleh gula.
Kepada yang "kasat mata" itulah rasa manis sebagai bentuk yang "tidak kasat mata" disandarkan.
Ia menutup kenyataan terhadap fakta lain yang menyuguhkan rasa manis. Misalnya, jambu manis, mangga manis, jeruk manis, madu, sirup dan seterusnya.
Karena terjebak pada fanatisme wadag pada gula sebagai satu-satunya penghasil rasa manis, maka yang dipersoalkan bukan gradasi rasa manis yang tak terbatas pada setiap unsur di luar gula.
Ia bersikukuh pada pendirian, "pokoknya", yang manis itu hanya gula.
Ada kisah menarik tentang "Si Pokoknya".Â