Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berdebat tentang Gula tapi Tidak Merasakan Manisnya Gula

14 Juni 2020   14:52 Diperbarui: 15 Juni 2020   15:04 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: PEXELS.com/Mohamed Hassan

Gula memang manis rasanya. Tapi, yang rasanya manis bukan hanya gula. Itu pun rasa manisnya memiliki gradasi yang tak mudah dirumuskan.

Ada gula batu, gula pasir, gula aren, gula Jawa---semuanya manis dan gradasi manisnya berbeda.

Yang ingin saya kemukakan di awal tulisan ini adalah cara berpikir "pokoknya": pokoknya, yang manis itu pasti gula. Selain gula rasanya tidak manis.

Saking ngefans-nya dengan gula, sikap berpikir pokoknya jadi menyempit. Pokoknya, yang manis itu pasti gula pasir. Selain gula pasir rasanya tidak manis.

Fanatisme adalah ketika gula pasir dianggap lalu dijadikan satu-satunya penghasil rasa manis. Bahkan rasa manis dari sesama jenis gula, kalau tidak berasal dari gula pasir, ia tidak manis. Minimal rasa manisnya tidak diakui.

Demikianlah proses berpikir yang sempit, dangkal dan cupet kian menggejala dan menjadi virus yang menyerang akal.

Padahal antara manis dan gula terbentang jarak yang "entah". Orang tidak lagi bisa membedakan antara rasa manis dan bentuk gula. Cara berpikir yang sempit, dangkal dan cupet hanya mengetahui bahwa rasa manis hanya dihasilkan oleh gula.

Kepada yang "kasat mata" itulah rasa manis sebagai bentuk yang "tidak kasat mata" disandarkan.

Ia menutup kenyataan terhadap fakta lain yang menyuguhkan rasa manis. Misalnya, jambu manis, mangga manis, jeruk manis, madu, sirup dan seterusnya.

Karena terjebak pada fanatisme wadag pada gula sebagai satu-satunya penghasil rasa manis, maka yang dipersoalkan bukan gradasi rasa manis yang tak terbatas pada setiap unsur di luar gula.

Ia bersikukuh pada pendirian, "pokoknya", yang manis itu hanya gula.

Ada kisah menarik tentang "Si Pokoknya". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun