Dua pengembara tersesat di hutan belantara. Dari kejauhan mereka melihat sebuah danau. Haus yang sangat membuat mereka bergegas menuju ke sana. Kurang beberapa meter dari danau, tampak makhluk yang tiba-tiba terbang.
"Burung Rajawali!" teriak pengembara pertama.
"Bukan, itu tadi ikan," kata pengembaran kedua.
Pengembara pertama tertawa. "Mana ada ikan bisa terbang setinggi itu?"
"Ada."
"Yang bisa terbang itu burung."
"Bisa terbang atau tidak, pokoknya, tadi itu ikan!"
Semoga saya, Anda dan kita semua tidak pernah bertemu dengan makhluk "Si Pokoknya" itu.
Kembali ke soal manis dan gula. Alih-alih bersikap toleran pada penghasil rasa manis selain gula, ia siap menabrak dan melabrak siapa pun yang berbeda pendapat dengan dirinya.
Cara pandang itu bisa diaplikasikan, misalnya hubungan "rasa manis" iman dan "bentuk formal" agama.Â
Kasus intoleransi antaragama bermula dari perseteruan "bentuk formal" agama ketimbang menebarkan "rasa manis" iman.
Yang dipertengkarkan adalah agama sebagai lembaga, padatan, kostum bahkan institusi kebudayaan. Padahal agama bukan itu semua. Agama bukan penampilan wadag yang dengannya kadar iman seseorang diukur.
Meminjam terminologi arek-arek Maiyah, agama itu letaknya di dapur. Ia menempati bilik privat dalam kesadaran pemeluknya.