Di desa saya, Kepatihan, dijadikan model "Kampung Tangguh". Ini---maaf---kegiatan seremonial yang tak kalah indah sekaligus bermain-main dengan kata-kata. Namanya saja Kampung Tangguh.
Kabarnya, untuk menjadi Kampung Tangguh kriterianya ada penduduk yang ODP atau PDP.Â
Benarkah demikian? Tidakkah penggunaan frase "Kampung Tangguh" justru bertabrakan dengan logika sehat?
Mari kita uji.Â
Yang manakah yang tangguh: kampung yang menjalani mekanisme antisipasi secara konsisten sehingga warganya terlindungi, ataukah kampung yang "kebobolan" akibat lemahnya langkah pencegahan dan mekanisme antisipatif?
Yang tangguh itu kampung yang mempertahankan wilayahnya sebagai "zona putih" berkat kerja sama warga, gotong-royong antar sesama, baik dibantu pemerintah desa maupun swadaya mandiri masyarakat.
Maka, saya wajib membesarkan hati anak-anak muda di kampung saya. Mereka telah berusaha melakukan tindak pencegahan dan langkah antisipatif.
Saya juga pernah menulis kegiatan mereka saat membagikan ratusan masker gratis kepada warga di Jagalan, pengemudi dan tukang becak di jalan. Penyemprotan desinfektan dilakukan secara mandiri berkat kerja sama dengan berbagai pihak.
Semuanya dikerjakan saat jumlah kasus terkonfirmasi positif di Jombang masih satu digit. Arek-arek telah bergerak sebelum Kampung Tangguh jangankan jadi program, tebersit di benak para pejabat pun belum.
Saya katakan kepada teman-teman, "Kampung kalian bukan Kampung Tangguh, tapi Kampung Sangat-sangat Tangguh dan Sangat-sangat Mandiri."
Setiap kampung memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, yang patut diwaspadai adalah ketika kemandirian, kekompakan, ke-guyub-rukun-an digusur oleh simbol-simbol pencitraan yang berakar dari lemah pandang akibat hiperealitas yang akut.[]
Jagalan 120620