Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dua Persoalan Mendasar Pendidikan, Sampai Kapan Sanggup Bertahan?

8 Juni 2020   17:14 Diperbarui: 11 Juni 2020   02:44 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sendainya kamu bisa bertemu Fir'aun apa yang akan kamu perbuat? Ini pertanyaan bukan untuk latihan menulis fiksi. Disampaikan saat proses belajar bersama siswa sekolah dasar kelas lima, kawan saya terbilang nekat.

Pertanyaan yang tidak lazim itu bisa mendatangkan protes orangtua, sesama guru, bahkan menggelisahkan Kepala Sekolah.

Siswa jangan diajak berkhayal yang tidak-tidak. Lebih baik membuat pertanyaan tertutup yang jawabannya pasti. Siswa tidak kesulitan menemukan jawaban karena sudah tersedia di buku pelajaran.

Sedangkan pertanyaan berjumpa Fir'aun itu bukan hanya pertanyaan terbuka. Ia melebar imajinatif dan bisa memancing aneka jawaban dan argumen. Itu kisah pengalaman kawan saya sekitar limabelas tahun yang lalu. 

Semalam ia bertandang ke rumah saya, curhat, berbagi perasaan gelisah. Apa yang digelisahkan limabelas tahun lalu masih berlangsung hingga kini.

Gaya Mengajar Konvensional
Saya tidak kaget. Teks book oriented begitu kuat mencengkeram pola ajar pendidikan di sekolah. Gaya mengajar yang bersifat satu arah masih jamak ditemukan. Siswa cukup setor telinga.

Ketika kita dipaksa belajar daring, teks book oriented dan gaya mengajar satu arah runtuh seketika. Gagap, tertatih-tatih, gamang menyikapi situasi belajar di tengah situasi yang tidak menentu.

Guru belum terbiasa menghadapi situasi yang tak terduga dan bisa berubah setiap saat. Akibatnya, pembelajaran online menjadi ajang pemberian tugas. Pola belajar secara terbimbing dan kolaboratif antara siswa dan guru belum sepenuhnya memenuhi harapan.

Permasalahan mendasar ini diperparah oleh ketersediaan infrastruktur digital yang masih minim dan tidak merata antar daerah. Beberapa guru di daerah pelosok harus mengunjungi rumah siswa untuk menemani mereka belajar. Proses belajar secara online akan terus berlanjut kendati new normal diterapkan di lingkungan sekolah. 

Pertemuan langsung antara guru dan siswa perlu dikurangi. Salah satu kebijakan new normal yang perlu diupayakan adalah mempersingkat waktu belajar di sekolah.

Siswa cukup belajar selama empat jam di sekolah. Jam belajar full day atau sekolah sehari yang menghabiskan delapan hingga sembilan jam patut dikoreksi ulang. Bukan zamannya siswa berlama-lama menghabiskan waktu di sekolah dalam tekanan belajar yang dipaksakan.

Selepas pulang sekolah, sekitar pukul sebelas siang, proses belajar dilanjutkan secara daring. Guru dan siswa bertemu secara virtual. Di sinilah persoalan pola belajar yang konvensional dan infrastruktur digital yang minim mengemuka. 

Tidak serta-merta guru bisa langsung mengubah gaya mengajar. Pola pikir dan kebiasaan mengajar yang melekat selama bertahun-tahun memerlukan perjuangan dan kerja keras untuk mengubahnya.

Infrastruktur digital pun tidak bisa dipenuhi secara sulapan. Di tengah krisis pandemi anggaran pemerintah terkuras untuk menangani kesehatan masyarakat.

Di antara dua persoalan itu mana yang lebih mendasar? Persoalan tenaga pendidikan yang terjebak mindset lama ataukah fasilitas pendidikan yang minim dan belum merata?

Dua-duanya memang penting dan sekaligus jadi titik lemah pendidikan di tengah kondisi yang tidak menentu. Namun, kita bisa memulai langkah sederhana, misalnya merintis forum dialog internal bersama para guru.

Kepala sekolah memfasilitasi forum tersebut sebagai wadah para guru untuk "sekolah bersama", belajar bersama, bangkit bersama. Target utama adalah mengubah pola pikir konvensional menjadi pola pikir yang terbuka dan adaptif terhadap perubahan. 

Peningkatan kompetensi bersama evaluasinya dilakukan antarguru. Tutorial sebaya memungkinkan para guru legowo belajar menerima kritik dan saran dari teman sejawat.

Wadah internal itu tak ubahnya forum silaturahmi bersama di mana setiap guru saling belajar, saling menguatkan dan saling menumbuhkan.

Senioritas dan yunioritas melebur dalam misi bersama untuk mewujudkan visi pembelajaran yang menyenangkan, menggairahkan dan memanusiakan.

Sayangnya, harapan itu tidak mudah diwujudkan. Selain terikat oleh formalisme kedinasan, sikap mental mencari aman dan nyaman di depan atasan kerap jadi mental block.

Tidak semua guru memang, namun ada satu atau dua orang saja yang memiliki mental block tersebut, biasanya ritme kekompakan akan kocar-kacir.

Ilmu Dimulai dari Bertanya
Oleh karena itu, agenda utamanya adalah menyuntikkan pola pikir yang terbuka. Setidaknya, secara teknis, para guru berlatih membuat pertanyaan terbuka.

Menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri siswa, memancingnya dengan pertanyaan kunci, membimbingnya melalui dialog dua arah, hingga menyusun bahan informasi menjadi simpulan akan meningkatkan capaian akademik siswa terutama dalam kemampuan membaca dan menulis.

Siswa tidak sekadar diisi air pengetahuan. Mereka perlu diajak menimba air pengetahuan dari sumur kenyataan. Sayangnya, selama ini siswa tak ubahnya gelas yang diisi bermacam-macam air pengetahuan. Saking banyaknya air itu lantas tumpah dan meluber. Sikap pasif saat belajar benar-benar melumpuhkan urat syaraf berpikir. 

Siswa tidak terlatih mengeja apalagi membaca fakta dan realitas di sekitarnya. Alih-alih piawai menyusun pertanyaan yang kritis, baru mulai proses berpikir mereka langsung disergap rasa takut salah di depan guru.

Kritis mengajukan pertanyaan untuk menemukan jawaban merupakan kunci membuka hijab ilmu. Selama pertanyaan macet, selama itu pula ilmu akan ngumpet.

Pembelajaran konvensional yang teacher oriented tidak hanya membuat ilmu semakin ngumpet. Bahkan pintu masuk menuju gudang ilmu dikunci rapat-rapat.

Sampai kapan siswa sanggup bertahan?[]
Jagalan, 080620

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun