Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aku Bercermin di Kaca 67 Tahun Laku Hidupmu

28 Mei 2020   14:04 Diperbarui: 29 Mei 2020   21:26 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah turbulance itu Cak Nun dan Padhangmbulan bagaikan pohon yang rindang. Penggembala, petani, pencari kayu bakar, pengembara berteduh di sana. Bisa sekadar melepas lelah untuk kembali melanjutkan perjalanan, atau merasakan semilir angin dan mendengarkan kicau burung-burung.

Pohon yang rindang itu kini tumbuh dan menaungi siapa saja yang mau berteduh di sana. Kenduri Cinta di Jakarta, Bangbangwetan di Surabaya, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Gambang Syafaat di Semarang.

Ini belum menghitung simpul-simpul yang bertunas tumbuh di kota kabupaten seluruh Indonesia dan luar negeri.

Anak-anak muda berkumpul, duduk melingkar, belajar bersama, sinau bareng, belajar dari kahanan serta apa saja untuk menggali kebenaran, kebaikan dan keindahan.

Mereka mengembarai cahaya tidak sebagai manusia hebat, pintar, alim, suci melainkan sebagai sesama hamba Tuhan yang bersama-sama menemukan "apa" yang benar, baik dan indah---bukan mengaku-aku diri sebagai "siapa" yang paling dekat dengan Tuhan.

Cak Nun menjadi manusia ruang yang menampung semuanya. Memangku mereka sebagai anak cucu karena berulang kali Cak Nun menyampaikan, "Aku bukan gurumu, bukan mursyidmu, bukan pemimpinmu. Anda bukan anak buah saya."

Lantas, apa peran dan "status" Cak Nun di tengah gelombang Maiyah? Selalu ditegaskan, Cak Nun adalah saudara, teman, Simbah yang bukan pada pundaknya seseorang mempertanggung jawabkan hidupnya melainkan kepada Tuhan.

Apa yang saya tulis ini sama sekali tidak bertumpu pada kekaguman melainkan upaya meneladani semampu yang saya lakukan.

Bangsa Nusantara tidak pernah kehabisan manusia yang patut diteladani. Namun, ingatan sejarah kita paling jauh tiga langkah ke belakang. Sepuluh, seratus, seribu, sejuta langkah ke belakang adalah kegelapan yang mata kita rabun menatapnya akibat kemalasan yang kita ciptakan sendiri.

Sugeng ambal warsa, Cak Nun.
Aku bercermin di kaca 67 tahun laku hidupmu.[]
Jagalan 280520

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun