Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aku Bercermin di Kaca 67 Tahun Laku Hidupmu

28 Mei 2020   14:04 Diperbarui: 29 Mei 2020   21:26 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Padhangmbulan/HARIADI

"Apa, Ful tema malam ini?"
"Belum ada, Cak," jawabku.

Lalu orang yang aku panggil "Cak" kadang "Mbah" memanduku. Sejumlah pertanyaan diajukan. Aku tidak harus menjawabnya. Melalu pertanyaan-pertanyaan itu orang yang aku panggil "Cak" kadang "Mbah" menata tema acara pengajian malam itu.

Itulah malam paling berat yang aku alami setiap tanggal 15 bulan Jawa. Diamanahi sebagai pemandu acara Pengajian Padhangmbulan bukan pekerjaan yang enteng.

Ini forum bukan layaknya acara diskusi model kampus. Bukan seperti seminar di hotel berbintang. Bukan acara pengajian resmi layaknya majelis taklim. Bukan pula ritual dzikir tarekat tertentu.

Pengajian di desa Mentoro Kec. Sumobito Kab, Jombang merangkum semuanya, namun juga bukan semuanya. Padhangmbulan memang unik dan autentik. Barangkali di kolong jagat ini hanya Pengajian Padhangmbulan yang terasa susah untuk didefinisikan.

Orang yang aku panggil "Cak" kadang "Mbah" itu adalah Emha Ainun Nadjib. Briefing yang disampaikannya tak lebih dari lima belas menit. Namun, bobotnya tidak kalah dengan mengikuti kuliah selama dua jam lebih.

Apa yang aku dapatkan dari sesi briefing itu? Banyak, sangat banyak, sehingga saking banyaknya aku biarkan poin-poin itu mengendap ke dasar sel-sel otakku.

Satu yang bisa aku ceritakan di sini adalah soal keseimbangan. Ini terlihat sederhana, namun menerapkan keseimbangan pada acara yang berlangsung selama delapan hingga sepuluh jam membutuhkan stamina yang panjang dan stabil.

Apalagi jamaah yang datang latar belakang pendidikannya cukup beragam. Walaupun kebanyakan anak muda, tidak sedikit bapak-bapak atau ibu-ibu berusia lanjut ikut menggelar tikar di sana.

Pengajian Padhangmbulan telah berlangsung selama 26 tahun. Selama itu pula ini pengajian tetap terkesan ndeso. Apa adanya. Tidak memakai sponsor.

Dari mana biayanya? Dari rezeki yang ditanggung Allah, demikian keyakinan keluarga Cak Nun dan teman-teman di Omah Padhangmbulan.

Selama 26 tahun itu pula Cak Nun mudik ke Jombang. "Saya tidak perlu menunggu Idul Fitri untuk mudik, karena pada malam Padhangmbulan saya pulang kampung," ucapnya.

Pada 27 Mei Cak Nun berusia 67 tahun. Usia yang terbilang tidak muda lagi. Apakah ini pertanda penulis naskah Lautan Jilbab dan drama Sunan Sableng dan Paduka Petruk yang ditunda pementasannya karena situasi pandemi, akan pensiun layaknya seorang pegawai negeri? 

Tidak ada kata pensiun.  Tidak ada kata berhenti.

Sebagaimana malam digantikan siang, dan siang menggantikan pagi, demikianlah hidup berjalan, terus berjalan dan akan terus berjalan sehingga tiada pilihan lain selain harus terus berjalan.

Ini bukan soal produktif atau tidak produktif. Semuanya terkait dengan hutang-hutang yang harus dibayarkan kepada Tuhan.

Tuhan memberi kita fasilitas untuk menjalankan hidup. Lengkap dan komplit. Tuhan tidak pernah undat-undat kecuali kita mengkhianati-Nya. Hutang ini harus terbayarkan melalui laku dan kerja yang bermanfaat.

Penjual nasi goreng, tukang parkir, cleaning service, sopir angkot, Camat, Bupati, Walikota hingga Presiden bisa memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada sebanyak mungkin orang melalui profesi, pekerjaan, jabatan yang diembannya.

Maka, betapa remeh pekerjaan atau bahkan jabatan dan kekuasaan yang diburu-buru itu kalau malah menyorong pelakunya terjun bebas ke dasar jurang kehinaan akibat gagal mengelola keseimbangan dan kemanfaatan.

Menjadi apa pun: jadi Ketua RT, Ketua RW, Lurah, Ketua Pembagi Zakat dan Sedekah, terserah apa jabatan dan kekuasaan yang digenggamnya, semuanya belum menjadi prestasi selagi dikuasai kepentingan pribadi.

Karier politik, karier jabatan, karier kekuasaan adalah takhayul. Orang bisa tertipu oleh takhayul bayangan yang diciptakannya sendiri. Ia membenar-benarkan khayalannya melalui frase usang seperti, "Saya mengabdi untuk umat. Yayasan ini milik masyarakat. Semuanya demi kepentingan bersama. Doakan jabatan ini bermanfaat bagi orang banyak."

Ternyata umat yang dimaksud adalah organisasi, golongan, jamaah, partai, keluarga, anak, istri, keponakan, yang ruang lingkupnya sebatas lingkaran individual.

Di tengah turbulance itu Cak Nun dan Padhangmbulan bagaikan pohon yang rindang. Penggembala, petani, pencari kayu bakar, pengembara berteduh di sana. Bisa sekadar melepas lelah untuk kembali melanjutkan perjalanan, atau merasakan semilir angin dan mendengarkan kicau burung-burung.

Pohon yang rindang itu kini tumbuh dan menaungi siapa saja yang mau berteduh di sana. Kenduri Cinta di Jakarta, Bangbangwetan di Surabaya, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Gambang Syafaat di Semarang.

Ini belum menghitung simpul-simpul yang bertunas tumbuh di kota kabupaten seluruh Indonesia dan luar negeri.

Anak-anak muda berkumpul, duduk melingkar, belajar bersama, sinau bareng, belajar dari kahanan serta apa saja untuk menggali kebenaran, kebaikan dan keindahan.

Mereka mengembarai cahaya tidak sebagai manusia hebat, pintar, alim, suci melainkan sebagai sesama hamba Tuhan yang bersama-sama menemukan "apa" yang benar, baik dan indah---bukan mengaku-aku diri sebagai "siapa" yang paling dekat dengan Tuhan.

Cak Nun menjadi manusia ruang yang menampung semuanya. Memangku mereka sebagai anak cucu karena berulang kali Cak Nun menyampaikan, "Aku bukan gurumu, bukan mursyidmu, bukan pemimpinmu. Anda bukan anak buah saya."

Lantas, apa peran dan "status" Cak Nun di tengah gelombang Maiyah? Selalu ditegaskan, Cak Nun adalah saudara, teman, Simbah yang bukan pada pundaknya seseorang mempertanggung jawabkan hidupnya melainkan kepada Tuhan.

Apa yang saya tulis ini sama sekali tidak bertumpu pada kekaguman melainkan upaya meneladani semampu yang saya lakukan.

Bangsa Nusantara tidak pernah kehabisan manusia yang patut diteladani. Namun, ingatan sejarah kita paling jauh tiga langkah ke belakang. Sepuluh, seratus, seribu, sejuta langkah ke belakang adalah kegelapan yang mata kita rabun menatapnya akibat kemalasan yang kita ciptakan sendiri.

Sugeng ambal warsa, Cak Nun.
Aku bercermin di kaca 67 tahun laku hidupmu.[]
Jagalan 280520

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun