"Jangan membuang-buang makanan!"
"Jangan membuang-buang makanan! Bisa kuwalat!"
"Iya, jangan membuang-buang makanan! Nanti kuwalat!"
Perang Apem rehat sejenak. Saya dan teman-teman cengar-cengir. Setelah orang dewasa berlalu, perang Apem babak kedua dilanjutkan lagi.
Perang Apem akan benar-benar berhenti manakala terdengar adzan Isya. Kami pun berhamburan menuju mushola. Siap meneriakkan puji-pujian dengan lagu yang fenomenal selama bulan Ramadan.
"Nawaitu shouma ghodin..."
Kue Apem dan Ki Ageng Gribig
Betapa polos kehidupan masa kanak-kanak. Atau terus terang saja, betapa nakal kehidupan saya dan teman-teman masa kanak-kanak dahulu. Kue Apem yang kami jadikan peluru ternyata memiliki sejarah yang agung.
Mengutip wikipedia kue ini dibawa Ki Ageng Gribig yang merupakan keturunan Prabu Brawijaya saat kembali dari tanah suci. Ia membawa oleh-oleh tiga buah makanan dari sana.
Namun karena terlalu sedikit, kue Apem ini dibuat ulang oleh istri Ki Ageng Gribig. Setelah jadi, kue  disebarkan kepada penduduk setempat. Sambil menyebarkan kue Apem Ki Ageng Gribig meneriakkan, "Yaa qowiyu" yang artinya "Tuhan berilah kekuatan".
Ki Ageng Gribig yang bernama asli Wasibagno Timur punya nama panggilan lain yaitu Syekh Wasihatno. Beliau putra dari Raden Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara atau Bandara Putih, putra dari Jaka Dolog. Ki Ageng Gribig adalah cucu Prabu Brawijaya V raja terakhir kerajaan Majapahit.