Adzan maghrib baru saja dikumandangkan. Ibu-ibu bergegas ke mushola sambil membawa nampan berisi kue Apem. Zaman dahulu ketika mushola dipenuhi kiriman Apem, itu pertanda besok kita mulai puasa Ramadan.
Anak-anak kecil tertawa riang. Sarung diselempangkan ke leher. Saya dan teman-teman berlarian menuju mushola, berebut mengambil air wudlu, lalu duduk di barisan paling depan.
Selain kue Apem dalam jumlah yang cukup banyak, di teras mushola juga tersaji ambeng: masakan tradisional yang terdiri dari urap-urap, sayur lodeh, tahu dan tempe.
Selesai wiridan shalat maghrib, jamaah duduk melingkar. Nampan berisi Apem dan ambeng diletakkan di tengah. Acara kirim doa untuk para leluhur dimulai.
Anak kecil zaman dahulu menyebut acara "amin-amin". Kami bersuara "amin...amin...amin" karena belum bisa membaca doa-doa yang panjang.
Saat yang ditunggu pun tiba. Orang dewasa membagikan daun pisang sebagai alas makan. Acara makan bareng dimulai.
Kami juga mendapat jatah kue Apem. Jumlahnya yang melimpah kerap tidak termakan. Kue Apem menumpuk selama berhari-hari di rumah. Lewat dua atau tiga hari kue Apem jadi keras.
Ide nakal khas anak-anak muncul. Kami berangkat ke mushola sambil mengantongi kue Apem. Untuk apa? Selesai shalat maghrib, kami akan melakukan "perang Apem". Jajanan tradisional itu dicuil lalu digelintir-gelintir sebesar kelereng untuk dijadikan peluru.
Kami saling melempar itu peluru sambil berlari menghindar dari lemparan teman yang lain. Melempar dan berlari. Berlari untuk melempar. Melempar sambil berlari.
Adakah permainan anak zaman sekarang yang melebihi keasyikan berlari sambil melempar-lempar? Rasanya tidak ada permainan anak zaman sekarang yang melebihi serunya melempar sambil berlari-lari layaknya perang Apem.
Itu pun yang dilempar sambil berlari-lari adalah jajan tradisional: kue Apem. Berlari dan melempar, sambil tertawa-tawa!
Tentu saja para sesepuh dan orang dewasa memarahi kami. Â