Itulah saat yang revolusioner dalam hidup Gus Jim. Latar belakang pendidikan yang ditempuhnya selama bertahun-tahun diralat habis. Pendidikan model kaum bercelana tidak kompatibel dengan budaya sarungan, demikian Gus Jim menyimpulkan.
Gus Jim semakin mantap dengan keputusannya: ke mana pun pergi, apa pun acaranya, ia akan selalu memakai sarung dan kopiah hitam.
"Ma, apa sarungnya sudah disiapkan?" tanya Gus Jim kepada istrinya.
"Menghadiri acara bersama Bupati kok pakai sarung sih, Pa?"
"Apa salah kalau Papa memakai sarung?"
"Bukan salah, Pa. Biasanya Papa memakai celana panjang."
"Ini tidak biasa. Siapkan saja sarungnya."
Istri Gus Jim tidak menjawab lagi. Hanya seribu tanda tanya mengeliling kepalanya.
Demikianlah Gus Jim yang namanya mendadak populer, dihormati dan dimuliakan orang saat ke mana pun pergi dan apa pun acara yang dihadiri. Semuanya berkat sarung.
Karier sosial Gus Jim pun tak kalah melejit. Ketika masih memakai celana panjang ia adalah Bendahara Karang Taruna di desa. Kini, setelah memakai sarung saat ke mana pun pergi dan apa pun acara yang dihadiri, jabatan sebagai Pimpinan Andum Sembako tingkat kota berhasil diraihnya.
Waktu itu pemilihan berlangsung singkat. Semua sepakat mengangkat Gus Jim sebagai pimpinan mereka. Tidak perlu fit and proper test, tidak usah ada penyampaian visi misi. Apalagi menelisik sejarah masa lalu tentang sikap watu akik alias cetil alias medit yang sesungguhnya kontra produktif bagi lembaga Andum Sembako.Â