"Nanti jangan ikut njagang, Pak," teriak Rista mengalahkan deru knalpot motornya.
"Siaaap...," saya berteriak kencang.
Maksudnya, kalau motor miring atau terpeleset akibat tanah bebatuan yang licin, saya tidak boleh ikut menurunkan salah satu kaki. Ini soal keseimbangan yang harus dikendalikan oleh satu orang saja. Sebagai penumpang saya manut dan percaya kepada joki saya.
Semakin masuk ke tengah hutan, jalanan kian terjal, licin dan menanjak. Berulang kali kami menerabas jalan setapak. Kiri dan kanan rimbunan semak belukar setinggi dua meter menutupi jalan. Rista menerabasnya. Ia sangat hafal karakter jalan bersama semua kemungkinannya.
Rista memang pengemudi motor handal---sangat handal bahkan, mengalahkan aksi Valentino Rosi. Film James Bond yang mengobrak-abrik pasar sambil naik motor trail belum sebanding dengan aksi Rista.
Jam satu siang kami tiba di depan gerbang dusun Rapahombo. Lega rasanya. Di depan tampak hamparan perkampungan yang sunyi, dikelilingi bukit dan gunung.
Angin semilir, udara sejuk dan sunyi perkampungan di keliling gunung membuat saya tak kuat menahan lelah dan kantuk. Saya ndlosor lagi di teras masjid.
Adzan Asar membangunkan saya. Shalat Asar berjamaah bersama warga di masjid yang sederhana sungguh nikmat rasanya. Kami lantas berpamitan. Beberapa warga meminta kami bermalam, balik ke Jombang besok pagi.