Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Duka Pendidikan dan Pola Pikir yang Masih Offline

4 Mei 2020   19:57 Diperbarui: 4 Mei 2020   21:15 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ruang kelas | Foto: kompas.com/Dokumen sekolah

Apa ceritamu hari ini? Apa pengalaman yang paling membuatmu berkesan selama puasa bulan Ramadan? Bagaimana pendapatmu menjalankan ibadah puasa di tengah situasi pandemi saat ini?.

Itulah beberapa pertanyaan yang jawabannya ditulis dalam bentuk cerita oleh anak-anak. Sore itu mereka berkumpul di rumah. Lho kok berkumpul? Katanya social distancing? Katanya physical distancing?.

Benar, mereka bukan anak-anak yang baru mudik dari kota zona merah. Bukan pula anak-anak yang datang dari luar kampung Jagalan. Mereka adalah penduduk pribumi asli alias tetangga dekat saya.

Itu pun jumlah mereka tidak lebih dari delapan anak. Kalau mereka semua berkumpul jumlahnya ada lima puluh anak. Anak-anak yang lain, terutama yang masih kecil, saya "rumahkan". Biarlah mereka ngabuburit bersama keluarganya.

Gagasan ngabuburit menulis cerita pengalaman ini pun datangnya spontan. Setelah tadarus Al-Qur'an di mushola samping rumah, mereka tidak langsung pulang. Ngobrol ke sana ke mari.

Di tengah obrolan itu mereka menyampaikan inisiatif atau tepatnya curhat karena lama tidak belajar di sekolah.

"Bosan, Pak, di rumah terus," ungkap Maya.
"Iya, Pak, bosan."
Putri lantas mengusulkan acara buka puasa bersama.
"Jangan," sergah Tika. "Kita menulis cerita saja."
"Cerita apa, Tik?" tanya Dita.
"Cerita apa saja. Bebas. Atau cerita tentang apa yang kita rasakan selama bulan puasa ini."
"Setuju," sahut Rubit. "Puasa tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana kalau kita menulis virus corona di tengah bulan Ramadan?"

Saya menyimak pembicaraan mereka. Anak zaman sekarang otaknya "encer-encer". Gagasannya beragam dan menantang. Potensi ini terasa sia-sia manakala sekolah tidak mampu melejitkannya.

Duka Pendidikan
Pikiran saya jadi mengembara ke mana-mana. Luka lama terbuka kembali. Pendidikan di negeri ini masih saja mengiris duka. Sekolah diyakini sebagai satu-satunya jalan menjadi manusia berpendidikan. Para guru dijadikan alat birokrasi untuk mengerjakan tugas-tugas administrasi yang dibebankan pemerintah.

Di tengah lubang tantangan yang kian menganga, kini, pendidikan di negeri ini tengah berhadapan dengan situasi yang tidak pernah dibayangkan. Belajar dari rumah. Bahasa kerennya belajar secara online. Alamaaak...

Dua puluh lima juta siswa sekolah dasar belajar online dari rumah dengan fasilitas jaringan internet yang megap-megap. Fakta ini semakin membuka borok kesenjangan antara anak dari keluarga mampu dan kurang mampu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun