Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Duka Pendidikan dan Pola Pikir yang Masih Offline

4 Mei 2020   19:57 Diperbarui: 4 Mei 2020   21:15 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ruang kelas | Foto: kompas.com/Dokumen sekolah

Anak dari keluarga mampu lebih akrab dengan teknologi informasi. Mereka pun tidak keberatan membayar mahal fasilitas di sekolah.

Bagaimana dengan anak dari keluarga kurang mampu? Ketika pandemi belum mengepung kita, seorang teman guru bercerita. Seorang siswa kelas enam madrasah ibtidaiyah, setara sekolah dasar, harus meminjam HP kepada tetangga untuk mengikuti Ujian Sekolah Berbasis HP.

Kondisi di luar pulau Jawa lebih mengiris hati. Menurut laporan survei Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), pada awal April 2020, kepada sekitar 300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur, hanya sekitar 28% responden yang menyatakan anak mereka belajar dengan menggunakan media daring.

Masih menurut survei INOVASI, penggunaan media belajar offline dengan menggunakan buku dan lembar kerja siswa adalah metode yang dominan (66%) digunakan oleh guru. Sisanya, yaitu sekitar 6% orang tua mengatakan tidak ada pembelajaran selama siswa diminta belajar dari rumah.

Dari hasil survei tersebut kita mengetahui belajar dari rumah memiliki kompleksitas persoalan yang tidak ringan. Yang dibutuhkan anak-anak Indonesia bukan sekadar pemerataan akses internet yang wusss... wusss... super cepat, melainkan perubahan mindset guru, orangtua dan stakeholder pendidikan.

Mindset tentang apa? Tentu saja revolusi cara berpikir yang mendasar tentang proses belajar. Selama ini pendidikan kita dibebani oleh ambisi kompetisi daripada mengedepankan visi kolaborasi. Bahkan ada sekolah dasar swasta di kota Jombang yang terang-terangan memasang tagline sebagai Sekolah Juara.

Alih-alih melakukan perubahan cara berpikir yang mendorong siswa melakukan kolaborasi, memelajari metode berpikir kritis, pendidikan model "Sekolah Juara" justru melambungkan kesombongan edukasi.

Siapa yang hendak dikalahkan? Kalah dalam hal apa? Menang dalam urusan apa? Sedangkan hidup tidak selalu berurusan dengan menang atau kalah. Ada dimensi lain tentang kemenangan: menang tanpa ngasorake. Menang tanpa menghinakan.

Sekolah bukan sekolah, pendidikan bukan pendidikan, guru bukan guru, belajar bukan belajar. Inilah fakta menyedihkan yang tengah dialami anak-anak di negeri ini.

Memang, situasi atau faktanya tidak bisa didramatisir. Namun, belajar dari rumah secara online tidak lebih dari memberi anak tugas mengerjakan Lembar Kerja Siswa. Yang online baru fasilitas belajarnya. Mindset dan cara berpikirnya masih offline.

Karya Sederhana di Tengah Duka Pendidikan
Di tengah duka itu hati saya pun terhibur. Saya bersyukur sekali menyaksikan anak-anak yang berkumpul di rumah memiliki gagasan menulis cerita. Ngabuburit pun dinikmati dengan kegiatan yang sederhana namun bermakna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun