Makhluk super lembut, si virus corona yang laa yamuutu wa laa yahya, mati tidak hidup pun tidak, melumpuhkan sendi kehidupan, merobohkan pilar peradaban, meruntuhkan kemegahan bangunan modernitas yang dibangga-banggakan.Â
Namun, di sisi yang lain corona menghidupkan "akar mati" sehingga manusia memergoki dirinya tidak sebagai batu, api, angin, pohon pisang atau kerbau. Manusia kembali menemukan dirinya sebagai manusia.
Corona menyediakan diri menjadi kendaraan yang ditumpangi penduduk bumi untuk mudik. Kembali ke mana? Kemajuan peradaban manusia yang dibungkus oleh kemajuan revolusi digital dan informasi pada dimensi fakta yang bersamaan dicengkeram oleh perilaku adigang adigung adiguna.
Seluruh pilar dan sendi peradaban dikembalikan pada operating system semula, direstart agar menempuh perjalanan melingkar dari gemerlap kota kemajuan yang semu dan pura-pura menuju kampung kesejatian.
Mudik ala corona---meminjam semangat Ibu Kartini---adalah melakukan hijrah habis gelap terbitlah terang.
Persoalannya, apakah kita mau menghabisi gelap kebodohan, gelap kecongkakan, gelap kepura-puraan, gelap kefanatikan, gelap tong kosong pencitraan, gelap ambisi berkuasa, pokoknya sejumlah penyakit kemanusiaan yang mengepung diri kita, keluarga, desa, kota, provinsi, pemerintah, negara untuk menerbitkan terang kebersamaan, kilau kesejahteraan, cahaya keadilan bersama?
Pada konteks itu Pak Presiden justru perlu mendorong rakyat Indonesia melakukan "mudik berjamaah", yang dimulai dari pribadi Bapak Jokowi, keluarganya, para menteri, jajaran birokrat atas hingga bawah, regulasi dan kebijakan, dan seterusnya.
Kita jangan mau ditunggangi si corona lalu bertengkar sesama saudara; kita juga harus menunggangi corona, menjadikannya kendaraan yang kita naiki bersama untuk melakukan hijrah menuju cakrawala yang terang benderang.[]
Jagalan, 230420
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H