Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Dilarang? Padahal, Sekarang Saat yang Tepat Kita "Mudik Berjamaah"

23 April 2020   12:26 Diperbarui: 23 April 2020   12:42 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS.com/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pemerintah telah resmi melarang masyarakat pulang kampung. Larangan ini diterapkan bukan tanpa alasan. Pencegahan terhadap makin menyebarnya virus corona menjadi pertimbangan utama.

Mudik selalu disamakan makna pengertiannya dengan pulang kampung. Mereka yang bekerja di kota besar akan selalu merindukan kampung halaman. Untuk itu, rencana pulang kampung menjadi agenda utama setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Apakah mudik selalu identik dengan pulang kampung? Adakah irisan-irisan kesadaran yang mempertemukan mudik dengan kegiatan pulang kampung? Bagaimana kalau ternyata mudik bisa dikerjakan dengan tidak pulang kampung?

Lebih spesifik lagi, apa konteks hubungan tradisi mudik dengan pulang kampung di tengah wabah virus corona?

Secara etimologi kata mudik berasal dari kata "udik" yang artinya selatan atau hulu. Pendapat yang lain menyatakan "udik" artinya kampung. Mudik bisa diartikan menuju udik atau kembali ke kampung.

Dalam bahas Jawa mudik berarti mulih dilik atau pulang sebentar. Ukara atau kata dalam bahasa Jawa yang cara pengucapannya berdekatan dengan mudik adalah modek, yang artinya terbang ke angkasa.

Dalam khasanah terminologi Islam, mudik adalah menempuh perjalanan untuk pulang kembali. Berangkat dari satu titik posisi lalu menempuhnya secara melingkar sehingga tiba kembali ke posisi awal. Umat Islam menyatakan, innaalillaahi wa innaa ilaihi roji'un.

Kalimat tarji' itu kerap dibaca saat menerima kabar duka kematian. Padahal, itu kalimat tentang kehidupan, kalimat sangkan paraning dumadi.

Mudik adalah perjalanan melingkar. Perjalanan pulang kembali yang tidak bisa ditempuh secara linier. Bukan perjalanan berbalik arah, seperti orang berjalan menuju selatan lalu balik arah kembali ke utara.

Gerak melingkar ini kerap dinyatakan dengan ungkapan "kita berasal dari tanah akan kembali menjadi tanah". Secara teologi hal ini serupa dengan kesadaran bahwa kita berasal dari Tuhan akan kembali kepada Tuhan.

Dimensi makna dan lapisan budaya mudik pun tampil beragam. Ada mudik budaya, mudik sosial, mudik pendidikan, mudik politik, mudik ragawi, mudik rohani. Bahkan, wabah virus corona saat ini menyediakan ruang dan kesempatan bagi manusia untuk melakukan mudik secara total.

Makhluk super lembut, si virus corona yang laa yamuutu wa laa yahya, mati tidak hidup pun tidak, melumpuhkan sendi kehidupan, merobohkan pilar peradaban, meruntuhkan kemegahan bangunan modernitas yang dibangga-banggakan. 

Namun, di sisi yang lain corona menghidupkan "akar mati" sehingga manusia memergoki dirinya tidak sebagai batu, api, angin, pohon pisang atau kerbau. Manusia kembali menemukan dirinya sebagai manusia.

Corona menyediakan diri menjadi kendaraan yang ditumpangi penduduk bumi untuk mudik. Kembali ke mana? Kemajuan peradaban manusia yang dibungkus oleh kemajuan revolusi digital dan informasi pada dimensi fakta yang bersamaan dicengkeram oleh perilaku adigang adigung adiguna.

Seluruh pilar dan sendi peradaban dikembalikan pada operating system semula, direstart agar menempuh perjalanan melingkar dari gemerlap kota kemajuan yang semu dan pura-pura menuju kampung kesejatian.

Mudik ala corona---meminjam semangat Ibu Kartini---adalah melakukan hijrah habis gelap terbitlah terang.

Persoalannya, apakah kita mau menghabisi gelap kebodohan, gelap kecongkakan, gelap kepura-puraan, gelap kefanatikan, gelap tong kosong pencitraan, gelap ambisi berkuasa, pokoknya sejumlah penyakit kemanusiaan yang mengepung diri kita, keluarga, desa, kota, provinsi, pemerintah, negara untuk menerbitkan terang kebersamaan, kilau kesejahteraan, cahaya keadilan bersama?

Pada konteks itu Pak Presiden justru perlu mendorong rakyat Indonesia melakukan "mudik berjamaah", yang dimulai dari pribadi Bapak Jokowi, keluarganya, para menteri, jajaran birokrat atas hingga bawah, regulasi dan kebijakan, dan seterusnya.

Kita jangan mau ditunggangi si corona lalu bertengkar sesama saudara; kita juga harus menunggangi corona, menjadikannya kendaraan yang kita naiki bersama untuk melakukan hijrah menuju cakrawala yang terang benderang.[]

Jagalan, 230420

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun