Ada guyonan tapi serius beredar di grup Whatsapp. Saya menyebutnya guyonan karena setelah membacanya kita dibuat tersenyum, sambil berkata dalam hati, "Iya ya."
Serius karena komplikasi persoalan antar umat beragama dan sesama umat beragama tidak terurai lagi kecuali oleh sikap saling berendah hati.
Guyon tapi serius ini intinya saling menyindir dan menelanjangi fanatisme kelompok, namun dibela dan dijadikan bahan perdebatan hingga hari kiamat pun saya yakin tidak akan selesai. Saya terjemahkan menjadi Bahasa Indonesia, seperti ini:
"Dahulu ada wanita memakai cadar dicaci. Sekarang, semua orang, laki-laki dan perempuan, wajib menggunakan masker."
"Dahulu ada masjid yang dipel habis shalat dihujat. Sekarang, masjid-masjid disemprot desinfektan."
"Dahulu sudah diberi saran, usai shalat tidak usah bersalaman. Sekarang, selesai shalat malah tidak berani bersalaman."
"Dahulu sudah diberitahu kalau menata barisan shalat kakinya tidak usah menginjak kaki teman di sebalahnya. Sekarang, malah diberi jarak minimal satu meter."
Kebiasaan kita adalah menertawakan "kesalahan" dan "kebodohan" orang lain. Saking asyiknya, kebiasaan itu berubah jadi gemar menyalahkan bahkan menyentuh aspek teologis.
Kalau Corona tidak menyapa manusia dagelan di atas tidak mungkin muncul ke tengah publik sebagai bahan untuk menertawakan diri sendiri.
Conditioning Pra-Ramadan
Mulai bulan Rajab dan Sya'ban, umat muslim dipaksa oleh Corono agar melakukan pemanasan---atau kita sebut saja mengalami conditioning Pra-Ramadan. Imbauan tidak keluar rumah: bekerja di rumah, belajar di rumah, beribadah di rumah, jaga jarak minimal satu meter merupakan panduan secara tersurat agar kita kembali ke rumah.
Makna tersiratnya adalah conditioning Pra-Ramadan memaksa kita kembali ke jiwa hakiki, rumah yang sejati, di dalam diri kita masing-masing. Mungkin kita akan pangling menatap halaman rumah jiwa kita karena jarang sekali ditengok. Bahkan penghuni rumah jiwa kita merasa kesepian karena tidak pernah disapa.
Kita pun terbata-bata menyapa jiwa kita sendiri. Pakewuh bersama keasingan yang menyergap. Wajah kita yang fana, yang selama ini mewakili setiap ekspresi dan ambisi mereguk dunia, tertunduk malu bertatapan mata dengan wajah kita yang sejati abadi.
Pada saat yang lain, diam-diam kita menertawakan kekonyolan yang selama ini kita banggakan sebagai prestasi, nama baik, prestise, kemuliaan.
Menjelang bulan Ramadan jiwa kesadaran menjadi lebih sublim, lebih kental, lebih meneb, lebih khusyuk. Aku menjadi lebih akrab dengan "Diri" ku.