Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Ojo Dumeh", Ketika Manusia Tidak Lebih Besar dari Virus SARS-CoV-2 di Tengah Jagat Semesta

27 Maret 2020   16:44 Diperbarui: 28 Maret 2020   11:33 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi virus corona| Sumber: Shutterstock

Saya tidak tahu persis apakah hajatan pernikahan yang akan digelar pada Minggu, 29 Maret 2020 akan tetap dilaksanakan atau ditunda. Undangan menghadiri pernikahan ini saya terima sejak satu minggu yang lalu. 

Seiring dengan perkembangan situasi dan himbauan pemerintah, memang sebaiknya gelaran pernikahan yang menghadirkan banyak orang itu ditunda.

Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, mulai Rabu (25/3), secara bertahap telah memulangkan sekitar 4000-an santri. Para santri yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia bisa ngaji di rumah masing-masing.

Menyusul kepulangan para santri Tebuireng, hari ini Jum'at (27/3), Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang juga mengirim para santri pulang ke rumah. 

Pemulangan para santri dilaksanakan secara bergelombang. Wali santri yang menjemput anaknya diatur cukup ketat. Armada bus yang mengantarkan para santri juga dipastikan keamanannya.

Ngono yo ngono nanging yo ojo ngono

Menghadapi kondisi tidak menentu seperti sekarang kita tidak bisa jumawa. Tidak perlu merasa percaya diri berlebihan bahwa kita sehat-sehat saja. Kata orang Jawa, "Ngono yo ngono nanging yo ojo ngono."

Maksudnya, sehat ya sehat, tapi jangan lengah terhadap kesehatan sendiri. Waras ya waras, tapi jangan merasa paling waras. Kalau ukara yang sarat nilai kebijaksanaan itu dilebarkan, ia bisa menjadi seperti ini: benar yang benar, tapi jangan merasa paling benar. 

Baik ya baik tapi mbok ya menghitung kebaikan untuk orang lain. Kaya ya kaya, tapi jangan lantas pamer mobil atau tas mewah.

Ukara Jawa itu juga bisa dipakai untuk mengoreksi keimanan kita. Misalnya, iman ya iman tapi apa iya iman kita diakui oleh Tuhan.

Kebudayaan kita adalah kebudayaan yang "ngono yo ngono" tanpa keseimbangan terhadap segala kemungkinan "nanging yo ojo ngono". Ngono yo ngono, kata anak muda zaman sekarang, tak ubahnya ungkapan "Losss!" Tidak pakai direm.

Ngono yo ngono, losss, tidak pakai direm adalah ekspresi budaya dari sikap serakah. Akar keserakahan adalah egoisme kita sendiri: egoisme akidah, egoisme agama, egoisme politik, egoisme ekonomi, egoisme karier.

Ngono yo ngono nanging ojo ngono adalah kesadaran terhadap relativisme. Tidak ada mutlak-mutlakan di dunia. Semuanya masih serba mungkin, semoga, mudah-mudahan. Bahasa Arabnya, la'allakum. Memakai ungkapan yang lain, ia bisa berarti "siapa tahu", "jangan-jangan", "kalau-kalau".

Foto: cnnindonesia.com (iStockphoto/spawns)
Foto: cnnindonesia.com (iStockphoto/spawns)
Ojo Dumeh!

Ukara yang semakna dengan ngono yo ngono nanging ojo ngono adalah ajo dumeh. Jangan mentang-mentang. Ini ukara posisinya koma (,) sehingga bisa dilanjutkan sendiri. Misalnya, ojo dumeh waras, ojo dumeh sugih (kaya), ojo dumeh pangkat (memiliki jabatan), ojo dumeh ngalim (pandai).

Ngono yo ngono nanging ojo ngono dan ojo dumeh mengajarkan sikap rendah hati. Kepala menunduk. Andhap asor di tengah jagat semesta. Semodern apapun pencapaian peradaban manusia, secepat apapun manusia sanggup melakukan transformasi energi, se-digital apapun teknologi melakukan revolusi dirinya, manusia tidak lebih besar dari SARS-CoV-2 di tengah jagat alam raya nan agung dan maha luas ini.

Sahabat saya menyatakan, "Jangan-jangan (nah 'jangan-jangan' lagi) keputusan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, pembangunan peradaban manusia, hingga perilaku keseharian per individu, baik bertaraf lokal, nasional hingga global, telah menjadi 'hama' yang mengganggu mekanisme 'detak jatunng' alam semesta ini."

Diperlukan antibodi yang lebih lembut untuk "melawan" hama virus itu. Sebab, faktanya, perubahan iklim, peningkatan permukaan air laut, penurunan tanah, kebakaran hutan, polusi udara yang melewati ambang batas keselamatan bernafas, ancaman kelaparan, kerusakan lingkungan---pokoknya tragedi kemanusiaan yang ditabung manusia sendiri, tidak atau hingga sejauh ini belum mengembalikan manusia pada titik keseimbangan ngono yo ngono nanging ojo ngono.

Pada perspektif ini saya sependapat dengan pandangan sahabat saya. Segala bentuk keputusan dan perilaku kita adalah sejenis virus yang mengacaukan mekanisme "kesehatan" alam semesta. Virus SARS-CoV-2 adalah virus jenis baru yang melawan sesama virus.

Sudahlah, yang penting saat ini kita masih memiliki peluang melakukan pertobatan massal. Tobat dari fanatisme kelompok dan golongan, tobat dari adigang adigung adiguna, tobat dari egoisme keserakahan.

Jangan lupa, setiap orang, setiap kelompok, setiap paguyuban politik, setiap rombongan "pedagang" yang rajin memanen kesejahteraan rakyat juga bertobat dari sikap menyepelekan ajaran nenek moyang kita sendiri yang telah berabad-abad mewariskan filosofi hidup: ojo dumeh dan ngono yo ngono nanging ojo ngono.[]

Jagalan, 27032020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun