Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Raissa Kanaya Tolak Ikut UN dan Pendidikan yang Mengabdi pada Kompetensi

3 Maret 2020   21:21 Diperbarui: 4 Maret 2020   14:25 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS.com/MARKUS MAKUR

Alasan Raissa mengingatkan saya pada pernyataan Rocky Gerung. "Ijazah itu tanda Anda pernah sekolah. Bukan tanda Anda pernah berpikir."

Raissa menggugat dengan sikap yang bersahaja bahwa selama ini pendidikan kita masih bertumpu pada formalisme kompetensi yang mengabdi pada kepentingan industri kapitalisme.

Kurikulum pendidikan kita pun menganut "madzhab" kompetensi. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum 2013 (K13) memiliki basis yang sama.

Output pendidikan kita memproduksi manusia yang kompeten. Jika ingin menjadi manusia berkompetensi yang diakui formalitasnya, sekolah telah menyediakan perangkat keras dan perangkat lunak. Kunyah semua paket belajar sesuai amanah kurikulum.

Lalu, di kelas akhir (Kelas IX atau Kelas XII) sekolah akan mengukur dan menilai kompetensi siswa secara nasional. Formalisme pendidikan masih dipelihara oleh pemerintah.

Paradigma yang jamak diyakini kebenarannya itu lantas digugat oleh Raissa. Penerapan nilai-nilai pendidikan ke tengah kehidupan sosial masyarakat tidak terutama ditentukan oleh kompetensi, melainkan dibuktikan melalui nilai kemanfaatan ilmu yang telah dipelajari.

Tentu saja, kita tidak tengah mempertentangkan kompetensi vs kemanfaatan. Keduanya bisa saling melengkapi karena masing-masing berada dalam satu lingkaran yang sama. 

Pendidikan yang mengabdikan diri secara total pada kompetensi industri akan kehilangan nilai manfaat di tengah dinamika kehidupan sosial politik agama. Pendidikan tidak bermartabat lagi. Ia tak ubahnya tangga untuk mencapai ambisi ekonomi, politik dan kekuasaan.

Kompetensi memerlukan pondasi nilai kemanfaatan. Islam menyatakan, manusia yang paling berkualitas adalah manusia yang paling banyak memberikan manfaat pada sesama. Kualitas manusia diukur dari apakah ia bermanfaat pada sesama ataukah menjadi ancaman bagi lingkungannya.

Bermanfaat pada lingkungan memerlukan sikap mental yang positif: kreatif, inovatif, solutif, pantang menyerah serta sejumlah karakter positif lainnya. Fadlilah (atau sebut saja bakat, talenta, minat) yang telah diberikan Tuhan kepada setiap anak ditopang oleh skill dan kompetensi yang mumpuni. Perpaduan antara fadlilah, kompetensi, dan kemanfaatan akan melahirkan para pakar yang ilmunya manunggal dengan persoalan dan penderitaan manusia.

Sayangnya, pendidikan kita sama sekali belum melirik bahwa setiap anak, setiap siswa, setiap manusia memiliki fadlilah yang berbeda-beda. Pendidikan kita masih menempati "maqam mesin", yang mencetak, mengukur, dan menilai manusia dengan standarisasi alat ukur kompetensi yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun