Narasi radikalisme, terorisme, jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang digulirkan justru melahirkan konstruksi ide yang liar. Dugaan pengalihan isu, adegan settingan, upaya rekayasa, penggalangan simpati hingga keasyikan guyonan menjadi tak terelakkan.
Publik dan pemerintah sama-sama kehilangan substansi kemanusiaan atas peristiwa tersebut. Keduanya berlindung di balik batu versi post truth-nya masing-masing.
Ah, makhluk macam apa si post truth ini? Padahal, menurut filosofi Jawa, ia tidak lebih sekadar egoisme bener dhewe. Benarnya sendiri. Benar menurut versi emosi, kepentingan, sudut pandangnya sendiri.
Dhewe atau sendiri bisa berlaku secara individual maupun komunal. Yang merepotkan adalah dhewe yang berlaku secara komunal dan sosial. Siapa yang memegang kekuasaan, dialah pengendali dominan atas "peperangan" narasi benere dhewe.
Sedangkan di atas benere dhewe ada benere wong akeh. Kebenaran orang banyak. Demokrasi dan konsep negara, pada taraf dan kadar tertentu, adalah kesepakatan bersama yang ditopang oleh pilar benere wong akeh.
Dan alangkah jauh posisi kita dari pencapaian bener kang sejati. Kebenaran yang sejati. Ini serupa cakrawala. Tidak ada siapa pun orang yang gagah berani mengatakan dirinya telah tiba di cakrawala.
Pancasila adalah "cakrawala" bener kang sejati, yang semestinya bukan hanya menginspirasi hidup berbangsa dan bernegara. Ia adalah jalan sekaligus arah ke mana bangsa dan negara ini berjalan.
Ironisnya, kita justru berjalan di tempat, untuk tidak menyebut berjalan mundur, di jalan post truth benere dhewe.
Semoga Pak Wiranto dan siapapun yang hidupnya "ditikam" kesewenang-wenangan, segera memperoleh keadilan.[]
Jagalan, 181019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H