Masih adakah rasa prihatin yang tersisa di nurani kita saat perilaku kekerasan yang mencederai rasa kemanusiaan hadir begitu telanjang?
Yang paling heboh adalah penyerangan terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Jenderal TNI (Purn.) Wiranto. Kita terbata-bata mengeja peristiwa itu. Publik gagap. Pemerintah gamang bersikap.
Yang menarik sekaligus memprihatinkan adalah respon publik begitu beragam. Namun, nurani kemanusiaan ditengarai telah pergi.Â
Menarik, karena publik memiliki "kecerdasan" analisanya sendiri. Terlepas pada akhirnya analisa itu berujung pada pro dan kontra.
Dan memprihatinkan, karena di balik kecerdasan analisa itu, kita lengah bahwa peristiwa penusukan yang menyasar manusia adalah tragedi kemanusiaan.
Tragedi ini bisa menimpa Wiranto, Wiranti, Warinto, Wak Jan, Mbah Topo atau siapa saja. Mulai dari pejabat hingga penggali kubur.
Artinya, nurani kemanusiaan kita terkoyak bukan lantaran Jenderal TNI (Purn.) Wiranto adalah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan. Pak Wiranto adalah manusia, sebagaimana Wiranti, Warinto dan warga negara Indonesia yang lain.
Sayangnya, kita diam-diam melakukan "diskriminasi", minimal menyimpan kasus serupa di dalam lemari, atas kenyataan teror kemanusiaan yang juga menimpa saudara kita sesama wong cilik.
Kadang, kita terlalu peduli terhadap kasus "orang besar" tapi abai kepada nasib "orang kecil". Penggusuran, penganiayaan, penikaman, pembunuhan yang menimpa "orang kecil" adalah keniscayaan suratan takdir yang melekat.
Kemanusiaan kita belum adil dan beradab.
Sayangnya, kenyataan ini diperparah oleh narasi pemerintah yang terkesan buru-buru memasang stigma dan menempelkan label pada pelaku teror.