Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun "Paradise" bersama Pemuda Desa

2 September 2019   23:00 Diperbarui: 2 September 2019   23:16 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS/DAHLIA IRAWATI

Kepada siapa harapan terhadap masa depan kita titipkan? Jawabnya, kepada anak-anak muda. Bung Karno pernah menggelorakan, "Berikan kepadaku sepuluh anak muda. Akan aku guncang dunia."

Itu baru sepuluh anak muda. Bagaimana jika seratus, seribu, sejuta anak muda? Kawan saya berseloroh, "Bisa hancur berkeping-keping ini dunia!"

Optimisme tidak pernah padam saat membincangkan anak muda. Selalu terbit keyakinan bahwa mereka diciptakan untuk menggenggam masa depan. Namun, masalahnya, anak muda seperti apa yang akan mengguncang dunia?

Satu hal yang perlu dicatat. Dunia yang dimaksud tidak selalu dunia global internasional. Skala RT/RW, dusun, kampung atau kecamatan adalah sebuah dunia juga. Anak-anak muda bisa mengguncang dunia walaupun dalam skala lokal.

Apalagi kita sering mendengar nasihat, sebelum menggenggam dunia, terlebih dahulu taklukkan jagat alit atau dunia kecil dalam dirimu. Jadilah pemimpin alam mikrokosmos. Setiap manusia adalah pemimpin, terutama bagi dirinya sendiri.

Dunia yang dimaksud, dengan demikian, bisa berskala mikro atau makro. Bergantung dari mana melihat sisi pandang dan sudut pandangnya.

Optimisme tulisan ini sederhana saja. Anak-anak muda kini tengah mengalami kebangkitan. Mereka semakin melek terhadap potensi dusun atau desanya. Fenomena ini semakin menggejala, terutama di dusun dan desa terpencil.

Kebangkitan itu pun tidak harus mewah dan gagah. Mereka berkumpul, bertukar pikiran, jagongan bareng, sambil diselingi petikan gitar dan lagu---seperti yang saya lakoni di kampung---sungguh pemandangan yang menggembirakan.

Forum-forum kecil semacam itu, dialog sambil duduk melingkar, menawarkan semangat kebersamaan dan kesetaraan. Tidak ada yang merasa paling pintar. Semua sejajar. Kesadaran terhadap pentingnya membuka cakrawala berpikir mengalahkan egoisme sesaat.

Hampir bisa dipastikan kebangkitan selalu diawali dari mindset, paradigma, cara berpikir memandang realitas. Sikap berpikir kritis, corak semangat anak muda, menjadi penggeraknya. Melalui dialog bermacam-macam pertanyaan pun mengalir. Mulai dari pertanyaan yang sederhana hingga pertanyaan yang menggugat keadaan. Semua dinikmati dalam atmosfer belajar bersama yang menggembirakan. Semua kembali dimulai dari desa.

Membangun "Paradise" di Desa

Kini, pelan namun pasti, desa semakin menjanjikan masa depan. Kesenjangan kualitas sumber daya manusia teratasi oleh akses informasi dan teknologi yang kian terbuka. Teknologi digital memutus jarak kesenjangan. Transfer pengetahuan tidak bisa dibendung lagi.

Komunikasi multiarah, berkat kemajuan teknologi digital, bukan lagi hal yang aneh. Misalnya, dialog antara pemuda desa di Gunung Kidul dengan mahasiswa peserta KKN. Hasilnya, mereka berhasil memaksimalkan potensi wisata seperti goa Pindul dan Gunung Api Purba Nglanggeran.

"Akibat diskusi, anak-anak muda jadi ingin mengembangkan wilayahnya. Pengembangan wisata dibuat berbasis masyarakat. Itu bisa dibilang penggeraknya pemuda semua," kata Kepala Bappeda Gunung Kidul, Sri Suhartanta.

Optimisme selanjutnya adalah akan tumbuh para tokoh muda lokal. Mereka bukan generasi penerus tapi generasi baru. Benar-benar baru cara berpikirnya, paradigmanya, kebijaksanaannya---tidak sebagaimana generasi tua sebelumnya.

Mengapa bukan generasi penerus? Pada satu sisi, anak-anak muda itu bangkit karena mereka tidak ingin meneruskan budaya lama yang koruptif. Walaupun ada juga warisan positif yang mereka terima dari generasi lama. Namun, terhadap dua model warisan itu mereka mengambil jarak.

Indikasinya gamblang. Ketika kota telah penuh sesak, sebagian anak muda memilih "bertarung" untuk menghidupkan desa. Mereka membangun surga, yakni paradise, yang identik dengan paradesa.

Para artinya tertinggi. Desa diletakkan pada posisi, maqam, kedudukan yang paling tinggi. Visi paling mulia. Membangun surga kesejahteraan di desa sebagai tempat hidup yang layak, harmonis, dan nguwongke wong, memanusiakan manusia. Layak, maksudnya layak secara ekonomi, politik, budaya serta layak semua unsur fondasi kehidupan.

Individualisme dan keserakahan, egoisme dan eksploitasi, pasti tersingkir. Keduanya berlaku di neraka. Sedangkan di "paradise" desa masyarakat hidup sederhana, bersahaja, toleran dan guyub rukun.

Optimisme ini bukan mimpi karena kita memiliki anak muda. Mereka telah memelajari, merasakan, menghayati, mengalami sikap serakah telah menciptakan neraka bagi tragedi kemanusiaan.

Di benak kesadaran mereka, terngiang nasihat Mahatma Gandhi, "Bumi ini cukup untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, namun tidak cukup untuk keserakahan satu manusia".[]

Jagalan 020919

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun