Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mereka Generasi Milenial "Cap" Apa?

26 Agustus 2019   12:35 Diperbarui: 27 Agustus 2019   10:37 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: CAKNUN.com/Adin

Saking tingginya harga sebuah akal orang enggan menggunakannya karena takut rusak. Karena itu, diawetkan saja di ruangan kaca.

Kesimpulan itu mengemuka dalam dialog, atau tepatnya jagongan, bersama anak-anak muda di kampung. Padahal malam sudah lewat pukul satu dini hari. Anak-anak muda masih menyala sinar matanya. Saya meladeni mereka hingga menjelang pukul tiga dini hari.

Mungkin selama ini kita salah sangka. Dikiranya mereka pemuda kampung yang terbelakang. Miskin informasi. Malas berpikir. Suka hura-hura.

Nyatanya, tidak. Saya betah berlama-lama jagongan karena otak mereka "encer". Lincah gerak bepikirnya. Paragraf di awal tulisan ini buktinya. Kalimat itu saya pinjam dari pikiran yang mereka ucapkan.

Jika ditilik dari pekerjaan keseharian, anak muda tetangga saya ini tidak keren. Ada pedagang burung, tukang parkir, jual jamu. Beberapa yang lain masih menganggur.

Menganggur? Ah, barangkali ini dugaan saya saja. Tidak ada manusia menganggur. Yang ada, kapitalisasi ekonomi mewajibkan setiap orang produktif. Arti produktif ialah menghasilkan uang.

Lagi pula, mana mungkin dari seorang penganggur terlontar pikiran-pikiran cerdas.

Sayangnya, sebagai generasi milenial mereka ini masih polos. Kecerdasannya tidak dimanfaatkan semata-mata untuk transaksi pasar. Di antara mereka ada seorang pelukis mural yang handal. Imbalannya cukup fantastis: 2 M. "Maturnuwun, Mas."

Siapakah para anak muda ini? Berada di lapisan fakta sosial kultur sebelah mana? Ada di segmentasi lapis berapa? Generasi milenial "cap" apa mereka ini?

Tidak setiap lapisan generasi berhasil disegmentasi secara akurat. Riset akademik kadang menampilkan bias segmentasi kelas. Apalagi, alam pikiran mereka tumbuh dalam arus informasi dan teknologi yang bergerak massif.

Saya curiga, mereka adalah generasi yang disiapkan sejarah untuk melahirkan babak baru kebangkitan.

Ternyata, saya menjumpai mereka tidak hanya di kampung saya saja. Di hampir setiap kerumunan Sinau Bareng, anak-anak muda hadir. Mereka memenuhi sudut perkotaan hingga tanah lapang pedesaan.

Lirik lagu Padhangmbulan, dinyanyikan Franky Sahilatua, menggambarkan mereka dengan tepat.

Beribu hamba-Mu
Bernyanyi rindu
Bergerak menari
Bagai gelombang

Sepi mereka karena dipinggirkan
Oleh kedzaliman kekuasaan
dan kesombongan

Suara mereka merobek langit
Bergolak sunyi mereka semua

Sayangnya, anak-anak muda yang serba tanggung ini dipandang sebelah mata. Disepelekan potensi dan kemampuannya. Dicurigai gagasan dan inisiatifnya.

Sikap tersebut memang tidak dilontarkan secara langsung, namun memperoleh kepercayaan dari "generasi tua" bukan perkara yang mudah.  

Kerap terjadi ketegangan di antara generasi yang usianya terpaut cukup jauh itu. Anak-anak muda cenderung progresif dan kadang agak ngawur. Sedangkan generasi tua enggan bergeser dari zona nyaman.

Mereka butuh ditemani. Syukur-syukur dibuatkan wadah untuk menyalurkan energi jiwa muda secara positif. Atmosfer yang kolaboratif akan sangat cocok bagi mereka yang tumbuh di tengah disrupsi teknologi.

Ini bukan soal gaya bekerja generasi milenial semata. Bukan hanya urusan kolaborasi virtual saja. Ini tentang fakta bahwa "anak-anak kita bukan anak-anak kita".

Mereka memang lahir dari rahim kita. Namun, mereka bukan kita. Mereka dipersiapkan untuk masa kehidupan yang kita tidak pernah membayangkannya.

Kita bisa menata pola distribusi tugas dan mekanisme pengambilan keputusan; mengatur jam kerja yang fleksibel (flextime policy); mengoptimalkan informasi teknologi. Namun, anak-anak itu tetaplah diri mereka yang tidak sepenuhnya sanggup kita mengerti. Mereka memiliki "dunia" sendiri.

Yang bisa kita lakukan adalah menciptakan atmosfer dialog yang seimbang sebagai sesama manusia. Selebihnya, biarkan mereka menjadi dirinya sendiri.[]
Jagalan, 260819

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun