Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahkan di Hadapan Sebuah Buku, Kita Tidak Berdaulat

23 Agustus 2019   13:29 Diperbarui: 23 Agustus 2019   13:38 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

Konon, Abu Nawas pernah ditangkap dan diadili gara-gara sebilah pisau. Ke mana ia pergi, pisau selalu terselip di pinggangnya.

Kecurigaan tak terbendung. Abu Nawas ditangkap. Beberapa hari kemudian ia dihadapkan pada Jaksa Penuntut.

"Salah saya apa?" tanya Abu Nawas.

"Anda selalu membawa pisau. Publik khawatir Anda akan melakukan kejahatan."

"Baik. Saya siap dihukum. Syaratnya, Anda menemani saya di dalam penjara ," kata Abu Nawas.

Jaksa Penuntut pun kaget. "Kenapa saya ikut dipenjara!"

"Ke mana-mana Anda pergi sambil membawa alat kelamin. Publik merasa khawatir Anda akan melakukan pemerkosaan."

Cerita di atas mungkin saja fiktif. Namun, pesan yang tersirat di dalamnya tengah kita alami bersama.

Beberapa hari terakhir publik tersita perhatiannya oleh ceramah "salib" Ust. Abdul Somad. Benda berbentuk salib menjadi barang yang "dikutuk". Polemik pun terjadi.

Juga masih lekat di ingatan kita, buku-buku yang dianggap berbahaya, dirazia. Polisi menangkap dua mahasiswa di Kraksan, Probolinggo. Mereka menggelar lapak buku yang di antaranya buku biografi tokoh partai komunis, Dipa Nusantara Aidit.  

Vigilantisme model Abu Nawas ternyata masih terjadi di zaman yang katanya akan memasuki revolusi industri 4.0. Teknologi Artificial Intelligence (AI) tidak diikuti oleh tumbuhnya kecerdasan yang paling dasar. Kita terjebak pada pusaran bias kognitif.

Kita takut melihat pisau karena otak kita dipenuhi oleh citra negatif tentang pisau. Pisau dikutuk dan disalahkan. Sementara itu, kita lupa bahwa pisau bermanfaat untuk mengelupas kulit mangga.

Zaman saya kecil, anak-anak dilarang membaca komik Kho Ping Hoo. Kebanyakan baca Kho Ping Hoo akan berakibat bodoh di sekolah, demikian katanya. Komik menerima sentimen negatif.

Mindset yang terlanjur dilekatkan pada benda dan peristiwa tidak mudah digeser begitu saja. Begitu lama tertanam, ia akan menjadi believe system. Untuk membuktikan kebenaran atas sebuah fakta nalar sehat lumpuh dengan sendirinya. Ia dikunci oleh sikap langsung percaya.

Padahal, persoalannya tidak terletak pada pisau, buku atau bendanya. Yang salah bukan alatnya. Pisau yang tergeletak di atas meja tidak bisa dikenakan status hukum. Tindakan manusia pada benda tersebut itulah yang menentukan benar atau salah, baik atau buruk, jahat atau tidak jahat.

Semestinya, kita merdeka dan berdaulat menentukan sikap dan tindakan. Sepanjang kita bersikap waspada, nalar pikiran berjalan logis, kita olah benda dan peristiwa menjadi pengalaman yang bermanfaat. Output-nya adalah kemaslahatan bersama.

Sayangnya, mindset kita terlalu ringkih. Gampang terpengaruh. Mudah didikte oleh keberpihakan sesaat. Kita melihat fakta tidak secara apa adanya.

Citra negatif yang ditanamkan pada fakta bukannya tanpa maksud. Pasti ada "udang di balik batu". Kepentingan politik dan kekuasaan paling mudah dicurigai sebagai "udang".

Akibatnya, kita dipenjara oleh mindset kita sendiri. Tidak merdeka, bahkan di hadapan sebuah buku kita tidak berdaulat.

Tentu, ini bukan persoalan yang bermuara pada lemahnya literasi saja. Pelajaran menalar memang tidak pernah diajarkan di bangku sekolah.

Guru-guru di sekolah hanya menjejalkan teks. Siswa menghafal definisi dan rumus. Di akhir tahun siswa diuji hafalannya. Nilai mata pelajaran Matematika 100, bukan jaminan siswa mampu berpikir logis matematis.

Bahkan, mata pelajaran yang semestinya mengajarkan nalar berpikir, disampaikan dengan cara indoktrinasi. Gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku diberikan dalam satu paket sistem nilai. Siswa tinggal menelannya.

"Sekolah kita lebih banyak mengajari siswa dengan 'kiat-kiat' menjawab soal, bukan bagaimana merumuskan persoalan dan berbagai kemungkinan logis mengatasinya," ungkap Achmad Munjid dalam "Salah Kaprah Pendidikan Karakter di Sekolah".

Tidak heran, anak-anak gagap saat digulung realitas. Akal mereka dipenuhi larangan dan anjuran "ini itu". Namun, mereka justru mengalami defisit indoktrinasi. 

Realitas bergerak terlalu cepat dan dinamis, acak dan sporadis. Dinamika hidup yang rasanya mustahil ditaklukkan dengan bekal sekadar mampu menjawab soal ujian multiple choice.  

Aksi razia dan perampasan buku serta polemik mengenai simbol-simbol agama merupakan kontinuasi pendidikan yang gagal membangun fondasi berpikir.

Semoga isi pikiran kita tidak dirazia pula.[]

Jagalan, 230819

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun