Celakanya, aurat kemanusiaan itu, kini, dijadikan identitas sosial. Kebenaran dikenakan sebagai baju, kostum, bendera. Pertengkaran dimulai manakala kostum "kebenaran" kita berbeda dengan kostum tetangga sebelah.
Kita saling bertengkar. Kita bahkan mengklaim sebagai pihak yang benar. Padahal, kebenaran yang jadi bahan pertengkaran itu, pada konteks tertentu, tidak lebih sebuah versi dari cara memandang. Beda sudut pandang pun bisa menghasilkan versi kebenaran.
Kita lantas habis-habisan mengerahkan tenaga dan pikiran untuk "membela yang benar". Siapa yang dibela? Adalah egoisme pribadi, kelompok, organisasi, parpol, ormas tempat kita mengharapkan penghidupan di sana. Kegaduhan di media sosial tak terelakkan lagi.
Memang kita tidak mengumumkan diri sebagai Tuhan. Namun, mengklaim sebagai satu-satunya pihak yang benar, sehingga yang tidak sejalan dengan kita "auto-salah", merupakan sikap menuhankan diri.
Benere dhewe, kata orang Jawa. Kita belum beranjak menuju benere wong akeh (kebenaran orang banyak), apalagi menapaki bener kang sejati (kebenaran yang sejati).
Namun, di tengah "goro-goro" amenangi zaman edan, secercah harapan selalu muncul. Media massa tidak selalu mengabdi pada huru-hara persaingan pasar. Optimisme terbit dari media massa yang berani menyuarakan kebenaran dengan cara yang santun dan bijaksana.
"Prinsip jurnalisme ialah memberi makna, tetapi tetap terpaut pada etika", ungkap Bagun.[]
Jagalan, 150819
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H