Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bukan Membuat Gaduh, Jurnalisme Itu Memberi Makna

15 Agustus 2019   10:42 Diperbarui: 15 Agustus 2019   10:59 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com

Tugas media adalah mencari kebenaran, bukan mengklaim benar. Pada praktiknya, prinsip boleh keras, namun caranya boleh halus mengingat ada etika yang dijaga. (Rikad Bagun, Wakil Pemimpin Umum Kompas)

Pernyataan di atas disampaikan Bagun, mewakili Jacob Oetama, pendiri harian Kompas, pada acara pemberian Penghargaan Achmad Bakrie XVII.

Yang menarik, Bagun juga mengungkapkan, tidak semua kebenaran bisa diungkap karena ada pertimbangan etika, namun semua yang ditulis oleh wartawan harus berlandaskan kebenaran.

Pernyataan Bagun beririsan dengan yang pernah disampaikan Cak Nun. "Kebenaran itu letaknya di dapur," tutur Cak Nun pada acara Maiyahan. Tidak setiap kebenaran boleh diungkapkan. Ia harus menghitung dampak maslahat dan mudlaratnya.

Ketika berjumpa dengan orang yang kakinya pincang, Anda tidak lantas menyapanya, "Apa kabar, Pincang?" Kaki yang pincang memang sebuah "kebenaran". Namun, fakta itu jangan lantas diungkapkan demi menyampaikan kejujuran. Dampak mudlaratnya lebih besar. Minimal, ia akan tersinggung.

"Kebenaran" itu cukup disimpan di "dapur" kesadaran. Selebihnya, Anda menyapanya dengan panggilan yang ramah dan ngajeni.

Ternyata, apa yang disampaikan Bagun dan Cak Nun tidak sesederhana simulasi kebenaran "kaki pincang". Kita tengah hidup di tengah atmosfer komunikasi media sosial yang telanjang. Orang tidak kenal lagi aurat.

Aurat yang dimaksud bukan hanya anggota badan yang wajib ditutupi. Privasi pribadi merupakan bagian dari aurat kemanusiaan.  

Kini, aurat yang seharusnya ditutupi dan tidak pantas diumbar jadi santapan publik. Semakin ditutupi orang makin penasaran ingin mengintipnya.
 
Tak kalah penting, aurat yang perlu dijaga adalah ketika ia bersentuhan dengan martabat kemanusiaan seseorang, yakni harga diri, penjagaan hak milik dan nyawa.

Harga diri seseorang bisa terkait dengan jalan keimanan dan keyakinan yang dipilihnya. Ia terletak di dapur. Apapun keimanan dan keyakinan seseorang, output sosialnya harus bermanfaat bagi kemanusiaan.

Nasihat klasik: ketika engkau akan menolong seseorang tidak perlu bertanya apa agamanya--merupakan kebijaksanaan menjalani hidup bebrayan.

Celakanya, aurat kemanusiaan itu, kini, dijadikan identitas sosial. Kebenaran dikenakan sebagai baju, kostum, bendera. Pertengkaran dimulai manakala kostum "kebenaran" kita berbeda dengan kostum tetangga sebelah.

Kita saling bertengkar. Kita bahkan mengklaim sebagai pihak yang benar. Padahal, kebenaran yang jadi bahan pertengkaran itu, pada konteks tertentu, tidak lebih sebuah versi dari cara memandang. Beda sudut pandang pun bisa menghasilkan versi kebenaran.

Kita lantas habis-habisan mengerahkan tenaga dan pikiran untuk "membela yang benar". Siapa yang dibela? Adalah egoisme pribadi, kelompok, organisasi, parpol, ormas tempat kita mengharapkan penghidupan di sana. Kegaduhan di media sosial tak terelakkan lagi.

Memang kita tidak mengumumkan diri sebagai Tuhan. Namun, mengklaim sebagai satu-satunya pihak yang benar, sehingga yang tidak sejalan dengan kita "auto-salah", merupakan sikap menuhankan diri.

Benere dhewe, kata orang Jawa. Kita belum beranjak menuju benere wong akeh (kebenaran orang banyak), apalagi menapaki bener kang sejati (kebenaran yang sejati).

Namun, di tengah "goro-goro" amenangi zaman edan, secercah harapan selalu muncul. Media massa tidak selalu mengabdi pada huru-hara persaingan pasar. Optimisme terbit dari media massa yang berani menyuarakan kebenaran dengan cara yang santun dan bijaksana.

"Prinsip jurnalisme ialah memberi makna, tetapi tetap terpaut pada etika", ungkap Bagun.[]

Jagalan, 150819

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun