Korban dengan kurban itu beda. Korban menempatkan seseorang pada posisi objek. Ia menerima akibat dari dominasi sekaligus hegemoni. Ia tidak berkutik dan pasrah dalam tekanan yang menindas.
Dalam skala kejadian tertentu kita sering menjadi korban sehingga tidak segan mengorbankan orang lain. Skalanya bermacam-macam, mulai urusan sosial ekonomi politik pendidikan, dan bahkan agama.
Apakah kita menjadi korban dari agama? Pandangan yang picik memahami agama kerap menjadikan kita korban atas kebodohan itu.
Bagaimana dengan kurban? Kurban itu mendekatkan diri kepada pihak yang dicintai. Ia metode sosial-spiritual. Dekat dengan sesama, dekat dengan Tuhan. Â
Kambing, sapi dan lebih luas, misalnya harta, tenaga, waktu, pikiran yang kita kurbankan adalah wasilah atau sarana. Ghayah atau tujuannya adalah limpahan cinta Tuhan.
Kita tidak tega menyaksikan ada tetangga yang melarat. Lalu kita mengurbankan 10 kg beras milik kita supaya bisa ditanak olehnya. Kita mencintai Tuhan dengan cara mengurbankan apa yang kita miliki untuk mencintai hamba-Nya.
"Cintailah makhluk yang ada di bumi, niscaya engkau akan dicintai makhluk yang ada di langit."
Kalau korban adalah akibat dari sifat beringas dan serakah, maka kurban adalah welas asih kepada sesama makhluk.
Sayangnya, kita terjebak pada formalisme syariat. Kurban sekadar menyembelih kambing atau sapi. Di luar ibadah formal, perilaku keseharian kita adalah menambah jumlah para korban.
Sering dijumpai, pejalan kaki menjadi korban pengendara motor. Penyeberang jalan menjadi korban padatnya kendaraan di jalanan. Tanah menjadi korban pupuk kimia. Minyak yang tumpah merenggut "kesucian" sungai dan laut. Udara yang kita hirup adalah korban dari asap knalpot dan industri.
Akibatnya, yang di atas menindas yang di bawah. Yang kuat menginjak yang lemah. Yang berkuasa memeras yang jelata. Para korban ternyata adalah pihak mustadlafin. Mereka yang posisi daya tawarnya berada di bawah.
Dialektika korban atas-bawah, kuat-lemah, pintar-bodoh tidak berlangsung secara seimbang. Ia linier dan sarat tekanan dari atas ke bawah. Motif dan pamrihnya pun ecek-ecek: meraup keuntungan sebesar-besarnya. Egoisme materialisme inilah yang disembelih oleh ibadah kurban.
Tuhan telah menegaskan, bukan material daging dan darah yang sampai kepada-Nya, melainkan nilai ketakwaan yang dinilai dan dihargai Tuhan. Materialisme tumbang di hadapan Kasih Sayang-Nya.
Lingkaran distribusi cinta kepada Tuhan pun tidak berat sebelah. Korelasi cinta kepada-Nya selalu nyumrambah kepada para makhluk-Nya. Tuhan tidak egois dalam urusan cinta, walau jangan sekalipun menduakan Dia.
Menyatakan cinta kepada-Nya berarti membangun komitmen dan kepedulian kemanusiaan yang tulus. Ibadah kurban, juga ibadah mahdloh lainnya, merupakan metode mengolah diri agar pengabdian cinta kemanusiaan kita efektif dan seimbang.
Adegan penyembelihan leher Nabi Ismail pada akhirnya "gagal". Berkali-kali pedang Nabi Ibrahim yang tajam tidak berhasil menembus kulit Nabi Ismail.
Sekian detik selanjutnya, yang datang adalah malaikat Jibril membawa seekor domba. Tuhan sengaja "menggagalkan" adegan penyembelihan itu. Dia tidak mengizinkan satu tetes pun darah manusia jatuh ke tanah.
Tuhan yang Maha Berkehendak, Pemilik segala nyawa dan darah, menghargai martabat manusia.
Ringkasnya, Tuhan memang sedang menguji totalitas cinta Ibrahim. Dari sisi sang Khalilullah, cinta itu akan dibuktikannya bahkan dengan menyembelih putranya sendiri.
Alangkah jauh konteks aktualisasi cinta kita dengan totalitas cinta Nabi Ibrahim. Bahkan, kita tidak segan menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa sesama manusia untuk membangun singgasana kejayaan di dunia.
Untungnya, waktu adegan Nabi Ismail disembelih, belum ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari pihak berwenang.[]
Jagalan, 110819
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI