Dialektika korban atas-bawah, kuat-lemah, pintar-bodoh tidak berlangsung secara seimbang. Ia linier dan sarat tekanan dari atas ke bawah. Motif dan pamrihnya pun ecek-ecek: meraup keuntungan sebesar-besarnya. Egoisme materialisme inilah yang disembelih oleh ibadah kurban.
Tuhan telah menegaskan, bukan material daging dan darah yang sampai kepada-Nya, melainkan nilai ketakwaan yang dinilai dan dihargai Tuhan. Materialisme tumbang di hadapan Kasih Sayang-Nya.
Lingkaran distribusi cinta kepada Tuhan pun tidak berat sebelah. Korelasi cinta kepada-Nya selalu nyumrambah kepada para makhluk-Nya. Tuhan tidak egois dalam urusan cinta, walau jangan sekalipun menduakan Dia.
Menyatakan cinta kepada-Nya berarti membangun komitmen dan kepedulian kemanusiaan yang tulus. Ibadah kurban, juga ibadah mahdloh lainnya, merupakan metode mengolah diri agar pengabdian cinta kemanusiaan kita efektif dan seimbang.
Adegan penyembelihan leher Nabi Ismail pada akhirnya "gagal". Berkali-kali pedang Nabi Ibrahim yang tajam tidak berhasil menembus kulit Nabi Ismail.
Sekian detik selanjutnya, yang datang adalah malaikat Jibril membawa seekor domba. Tuhan sengaja "menggagalkan" adegan penyembelihan itu. Dia tidak mengizinkan satu tetes pun darah manusia jatuh ke tanah.
Tuhan yang Maha Berkehendak, Pemilik segala nyawa dan darah, menghargai martabat manusia.
Ringkasnya, Tuhan memang sedang menguji totalitas cinta Ibrahim. Dari sisi sang Khalilullah, cinta itu akan dibuktikannya bahkan dengan menyembelih putranya sendiri.
Alangkah jauh konteks aktualisasi cinta kita dengan totalitas cinta Nabi Ibrahim. Bahkan, kita tidak segan menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa sesama manusia untuk membangun singgasana kejayaan di dunia.
Untungnya, waktu adegan Nabi Ismail disembelih, belum ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari pihak berwenang.[]
Jagalan, 110819