Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Untuk Apa Zonasi PPDB Kalau Kualitas Pendidikan Belum Merata?

13 Juni 2019   09:32 Diperbarui: 13 Juni 2019   20:36 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PPDB (RONY ARIYANTO NUGROHO/regional.kompas.com)

"Iya (PPDB menghapus label sekolah favorit), yang favorit itu harus anak. Jadi setiap sekolah, semua sekolah nanti harus bagus, harus favorit, standar pelayanan minimum harus terpenuhi," kata Muhadjir di Kantor PP Muhammadiyah Yogya.

Pernyataan Mendikbud menerbitkan harapan baru. Tidak ada lagi kesenjangan antara sekolah favorit dan tidak favorit, antara sekolah unggulan dan tidak unggulan, antara sekolah yang kompetitif dan tidak kompetitif. Prinsipnya, kastanisasi sekolah harus mulai dilebur.

Namun, apakah model zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) akan mengatasi tantangan kastanisasi sekolah? Bagaimana efektivitas model zonasi akan bekerja sementara problem pendidikan yang sesungguhnya adalah kita tengah berada pada zona darurat mutu pendidikan?

Sebenarnya, problem kastanisasi yang ingin diselesaikan oleh zonasi PPDB itu dipicu oleh peserta didik yang malas berangkat sekolah, sulitnya peserta didik mengakses pendidikan, ataukah masih rendahnya kualitas dan kompetensi guru? Mengapa di era otonomi daerah upaya peningkatan kualitas dan kompetensi guru seperti berjalan di tempat?

Kita bisa mengajukan lebih banyak lagi pertanyaan untuk menemukan akar persoalan. Peta permasalahannya jelas: yang bermasalah bukan peserta didik. Kastanisasi itu merupakan "buah" dari kesenjangan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah sendiri.

Apabila ada sekolah (negeri) yang difavoritkan itu artinya sekolah tersebut (biasanya) memiliki guru-guru yang relatif lebih berkualitas dan berkompeten dibanding sekolah yang tidak favorit. Walaupun hal itu bukan satu-satunya jaminan, karena sekolah yang tidak favorit juga memiliki guru berkualitas, namun sejarah prestasi sekolah yang kadung melekat di masyarakat tidak dibangun dalam waktu yang singkat.

Sekolah favorit biasanya juga memiliki fasilitas pendidikan yang lumayan lengkap. Lalu, satu fakta yang tidak bisa dimungkiri--berkat guru berkualitas dan fasilitas lengkap--sekolah favorit mampu menciptakan iklim belajar yang positif.

Jadi, persoalan yang sesungguhnya adalah kualitas dan kompetensi guru yang rendah. Penyebaran guru-guru berkualitas belum merata. Stigma sekolah favorit dan tidak favorit bisa dicairkan melalui peningkatan dan pemerataan kualitas kompetensi guru, baik yang ada di kota maupun daerah. Sayangnya, dalam hal ini peningkatan kesejahteraan guru tidak berdampak pada kualitas pendidikan.

Saya sependapat dengan pernyataan Mendikbud bahwa di setiap sekolah harus ada anak favorit yang memang mampu berkompetisi. Bahkan setiap anak adalah favorit, khas dan unik sesuai personalitasnya.

Kalaupun ada anak yang belum mengenal "DNA" potensi dirinya, tugas guru di sekolah adalah menciptakan atmosfer belajar yang akomodatif terhadap upaya penggalian potensi anak. Bukan melakukan standarisasi akademik yang kaku sebagai satu-satunya parameter yang wajib diikuti anak.

Dari sisi itu saja sekolah dan guru-guru sudah kedodoran paradigma mengajarnya. Parameter akademik masih jadi panglima.

Persoalan yang melilit pendidikan kita tidak cukup diselesaikan dengan aturan-aturan teknis. Intervensi pemerintah yang berbasis pada paradigma pendidikan yang membebaskan, serta meningkatkan kemampuan soft skill dan hard skill guru lebih utama ketimbang membuat regulasi teknis yang tidak menyentuh akar permasalahan.

Kalaupun kita sepakat dengan istilah "sekolah unggul", mari bersepakat pula bahwa sekolah tersebut memiliki sistem belajar, atmosfer belajar, guru-guru yang juga unggul. 

Anak yang "biasa-biasa saja" akan menjadi sosok yang "unggul"--tanpa harus mengungguli dan merendahkan yang lain--karena ia berhasil menemukan keunggulan dan potensi dirinya, setelah digodok oleh guru-guru yang "unggul" dalam iklim belajar yang juga "unggul." Sanggupkah pemerintah menciptakan pemerataan sekolah berkualitas hingga ke pelosok desa dan dusun?

Lantas, masih perlukah zonasi PPDB kalau persoalannya adalah sekolah belum sepenuhnya berhasil mengantarkan peserta didiknya menjadi manusia "unggul" karena para guru juga belum sepenuhnya "unggul" kualitas dan kompetensi mengajarnya? Mengapa menghapus label sekolah unggul tidak dilakukan dengan cara memperbanyak sekolah berkualitas sehingga ke manapun anak sekolah ia bersekolah di sekolah yang unggul?

Jangan-jangan tujuan bersekolah dan mengajar sekadar untuk memenuhi kebutuhan perut. Zo-nasi.[]

Trenggalek, 13 Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun