Persoalan yang melilit pendidikan kita tidak cukup diselesaikan dengan aturan-aturan teknis. Intervensi pemerintah yang berbasis pada paradigma pendidikan yang membebaskan, serta meningkatkan kemampuan soft skill dan hard skill guru lebih utama ketimbang membuat regulasi teknis yang tidak menyentuh akar permasalahan.
Kalaupun kita sepakat dengan istilah "sekolah unggul", mari bersepakat pula bahwa sekolah tersebut memiliki sistem belajar, atmosfer belajar, guru-guru yang juga unggul.Â
Anak yang "biasa-biasa saja" akan menjadi sosok yang "unggul"--tanpa harus mengungguli dan merendahkan yang lain--karena ia berhasil menemukan keunggulan dan potensi dirinya, setelah digodok oleh guru-guru yang "unggul" dalam iklim belajar yang juga "unggul." Sanggupkah pemerintah menciptakan pemerataan sekolah berkualitas hingga ke pelosok desa dan dusun?
Lantas, masih perlukah zonasi PPDB kalau persoalannya adalah sekolah belum sepenuhnya berhasil mengantarkan peserta didiknya menjadi manusia "unggul" karena para guru juga belum sepenuhnya "unggul" kualitas dan kompetensi mengajarnya? Mengapa menghapus label sekolah unggul tidak dilakukan dengan cara memperbanyak sekolah berkualitas sehingga ke manapun anak sekolah ia bersekolah di sekolah yang unggul?
Jangan-jangan tujuan bersekolah dan mengajar sekadar untuk memenuhi kebutuhan perut. Zo-nasi.[]
Trenggalek, 13 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H