"Iya (PPDB menghapus label sekolah favorit), yang favorit itu harus anak. Jadi setiap sekolah, semua sekolah nanti harus bagus, harus favorit, standar pelayanan minimum harus terpenuhi," kata Muhadjir di Kantor PP Muhammadiyah Yogya.
Pernyataan Mendikbud menerbitkan harapan baru. Tidak ada lagi kesenjangan antara sekolah favorit dan tidak favorit, antara sekolah unggulan dan tidak unggulan, antara sekolah yang kompetitif dan tidak kompetitif. Prinsipnya, kastanisasi sekolah harus mulai dilebur.
Namun, apakah model zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) akan mengatasi tantangan kastanisasi sekolah? Bagaimana efektivitas model zonasi akan bekerja sementara problem pendidikan yang sesungguhnya adalah kita tengah berada pada zona darurat mutu pendidikan?
Sebenarnya, problem kastanisasi yang ingin diselesaikan oleh zonasi PPDB itu dipicu oleh peserta didik yang malas berangkat sekolah, sulitnya peserta didik mengakses pendidikan, ataukah masih rendahnya kualitas dan kompetensi guru? Mengapa di era otonomi daerah upaya peningkatan kualitas dan kompetensi guru seperti berjalan di tempat?
Kita bisa mengajukan lebih banyak lagi pertanyaan untuk menemukan akar persoalan. Peta permasalahannya jelas: yang bermasalah bukan peserta didik. Kastanisasi itu merupakan "buah" dari kesenjangan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah sendiri.
Apabila ada sekolah (negeri) yang difavoritkan itu artinya sekolah tersebut (biasanya) memiliki guru-guru yang relatif lebih berkualitas dan berkompeten dibanding sekolah yang tidak favorit. Walaupun hal itu bukan satu-satunya jaminan, karena sekolah yang tidak favorit juga memiliki guru berkualitas, namun sejarah prestasi sekolah yang kadung melekat di masyarakat tidak dibangun dalam waktu yang singkat.
Sekolah favorit biasanya juga memiliki fasilitas pendidikan yang lumayan lengkap. Lalu, satu fakta yang tidak bisa dimungkiri--berkat guru berkualitas dan fasilitas lengkap--sekolah favorit mampu menciptakan iklim belajar yang positif.
Jadi, persoalan yang sesungguhnya adalah kualitas dan kompetensi guru yang rendah. Penyebaran guru-guru berkualitas belum merata. Stigma sekolah favorit dan tidak favorit bisa dicairkan melalui peningkatan dan pemerataan kualitas kompetensi guru, baik yang ada di kota maupun daerah. Sayangnya, dalam hal ini peningkatan kesejahteraan guru tidak berdampak pada kualitas pendidikan.
Saya sependapat dengan pernyataan Mendikbud bahwa di setiap sekolah harus ada anak favorit yang memang mampu berkompetisi. Bahkan setiap anak adalah favorit, khas dan unik sesuai personalitasnya.
Kalaupun ada anak yang belum mengenal "DNA" potensi dirinya, tugas guru di sekolah adalah menciptakan atmosfer belajar yang akomodatif terhadap upaya penggalian potensi anak. Bukan melakukan standarisasi akademik yang kaku sebagai satu-satunya parameter yang wajib diikuti anak.
Dari sisi itu saja sekolah dan guru-guru sudah kedodoran paradigma mengajarnya. Parameter akademik masih jadi panglima.