Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mengeja Bait-bait Literasi di Kelas Kehidupan

7 Juni 2019   17:06 Diperbarui: 7 Juni 2019   17:15 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baiklah, melalui tulisan ini saya akan menyampaikan tahaddust binni'mah, mengabarkan kenikmatan dan kebaikan sebagai ungkapan syukur kepada-Nya.

Saya berusaha menggeser paradigma bad news is good news di tengah atmosfer tayangan good news is bad news.

Adalah tentang anak-anak kita, para siswa MTsN 2 Blitar, dalam beberapa bulan terakhir sedang mengeja bait-bait literasi di sekolah mereka. Kabar baiknya adalah di antara jam belajar yang padat mereka berkesempatan belajar menuangkan ide, gagasan, isi pikiran melalu Kelas Menulis. Kabar baik selanjutnya adalah tulisan itu diterbitkan menjadi sepuluh buku Kumpulan Cerita Anak. Lima buku tengah diproses cetak dan lima buku selanjutnya sedang diedit dan ditata layout-nya.

Saya mengapresiasi upaya sekolah menyediakan wadah yang membukakan pintu selebar-lebarnya untuk peserta didik, tidak hanya supaya mereka terampil menulis isi pikiran. Lebih dari itu: di tengah keprihatinan kita terhadap tumpulnya nalar berpikir yang mengisi dialog publik di media sosial maupun televisi, Kelas Menulis MTsN 2 Blitar menawarkan optimisme bahwa anak-anak perlu "diselamatkan" dari "kegelapan" cara berpikir yang mengepung generasi sebelum mereka.

Kelas Menulis itu ibarat upaya evakuasi minadh-dhulumaati ilannuur, dari gelap menuju cahaya.

Saya bayangkan anak-anak sedang menyongsong semburat cahaya dari timur dengan hati gembira dan wajah sumringah. Optimisme ini semoga menjadi bahan bakar yang menyulut semangat Kepala Madrasah, para guru, orang tua dan anak-anak sendiri. Lebih istikomah dan tidak gampang loyo saat berhadapan dengan sejumlah tantangan.

Tulisan anak-anak dalam buku Kumpulan Cerita Anak merupakan harta karun yang siapapun bisa menggalinya. Guru Mata Pelajaran, Guru Bimbingan dan Konseling (BK), psikolog, psikiater, orangtua dan para stakeholder pendidikan, silakan membaca dan mencermati "dunia dalam" isi pikiran dan gelombang perasaan anak-anak.

Apa yang ditulis peserta didik bisa mengungkap apa yang selama ini luput dari komunikasi formal proses belajar dalam berbagai sisi pedagogis, psikologis, budaya, hingga spektrum detail kemanusiaan yang lebih luas dan dalam.

Apalagi di usia yang masih cukup muda mereka tengah mencari jati diri, merumuskan identitas personal dan identitas sosial. Mereka akan bersuara untuk menyikapi, misalnya tema bullying, intoleransi, kekerasan, penyalahgunaan narkoba, walaupun tidak menggunakan kalimat yang eksplisit. Riak gelombang tulisan mereka menampilkan getaran yang yang cukup jelas bagaimana sesungguhnya anak-anak tengah mendambakan kehidupan hari ini yang lebih baik dan masa depan yang menggembirakan.

Ringkasnya, hasil dari riset tulisan itu menyodorkan manfaat yang berlapis-lapis sesuai misi dan visi pendidikan. Kelas Menulis adalah Kelas Kehidupan.

Butuh kesabaran dan ketelatenan membaca hasil karya anak-anak. Ungkapan pikiran mereka kadang terasa gagap, terbata-bata, belum jangkep unsur-unsur analogi nalarnya. Tidak apa-apa. Berhasil menggali isi hati dan pikiran lalu menyajikannya dalam deretan kalimat dan paragraf merupakan keberhasilan yang patut diapresiasi. Apalagi keberanian menyampaikan isi pikiran itu berlangsung di tengah praktik pembelajaran yang serba instan.

Foto: dok. pribadi
Foto: dok. pribadi
Saya cukup menikmati cerita mereka sambil pikiran saya terus bergerak mencermati fakta: para peserta didik dibesarkan dalam atmosfer pendidikan yang menjejalkan rumus dan formula. Sementara bagaimana rumus fisika, rumus kimia, rumus matematika berhasil ditemukan, mereka tidak atau bahkan jarang diajak untuk melacaknya.  

Indoktrinasi tidak hanya berlangsung pada mata pelajaran agama. Pelajaran rasional seperti fisika, kimia atau matematika kerap diajarkan dengan sikap "pokoknya". Rumus-rumus yang rasional gagal disampaikan. Apa sebab? Peserta didik tidak diajak untuk mencermati realitas di sekitar mereka. Rumus fisika bisa cukup mudah dimengerti kalau pembelajarannya berangkat dari realitas terdekat.

Kurang lebih tahapan itu berlangsung dari mencermati realitas, menalar fakta, menemukan konsep, memahami rumus lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Tahapan ini beririsan dengan budaya literasi yang tidak sekadar dipahami sebatas gerakan membaca teks. Nalar berpikir yang berpijak pada alam realitas adalah core dari kegiatan literasi.

Sayangnya, kita menggampangkan tahapan belajar menalar, sehingga peserta didik atau bahkan penggiat literasi kerap terjebak pada pengertian literasi yang minimalis.

Padahal teks yang tersaji, baik yang ditulis sebagai firman Tuhan maupun buku-buku bacaan, termasuk bermacam-macam sub bidang literasi: literasi kesehatan, literasi digital, literasi data dan sebagainya--semua itu merupakan "produk jadi". Peserta didik atau pihak yang jadi sasaran pemberdayaan literasi tahu jadi dan tinggal menelannya.

Kita sepakat, jenis-jenis literasi itu semacam rumus atau formula yang harus dikuasai. Adapun bagaimana dan mengapa-nya kita jarang mengajak peserta didik untuk mengkritisi realitas, menalar, menemukan konsep dan menjadikannya "rumus" saat bertindak dan bersikap.

Akibatnya, gerakan literasi kita tak ubahnya zombie yang bergentayangan ke sana ke mari tanpa makna dan hikmah karena tidak dihidupi oleh "roh" menalar.

Ini baru keprihatinan pada satu aspek tekstual dan kesanggupan menalar. Dua aspek berikutnya, meng-iqra' lingkungan sebagai bagian dari semesta yang diciptakan Tuhan serta menggali dan mengenali diri masih jauh dari misi literasi.

Seprihatin-prihatinnya kita terhadap kenyataan literasi dan daya nalar, saya tetap optimis dan bersyukur. Cahaya kebangkitan memancar semburat dari ufuk timur.[]

Jagalan, 7 Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun