Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mengeja Bait-bait Literasi di Kelas Kehidupan

7 Juni 2019   17:06 Diperbarui: 7 Juni 2019   17:15 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: dok. pribadi
Foto: dok. pribadi
Saya cukup menikmati cerita mereka sambil pikiran saya terus bergerak mencermati fakta: para peserta didik dibesarkan dalam atmosfer pendidikan yang menjejalkan rumus dan formula. Sementara bagaimana rumus fisika, rumus kimia, rumus matematika berhasil ditemukan, mereka tidak atau bahkan jarang diajak untuk melacaknya.  

Indoktrinasi tidak hanya berlangsung pada mata pelajaran agama. Pelajaran rasional seperti fisika, kimia atau matematika kerap diajarkan dengan sikap "pokoknya". Rumus-rumus yang rasional gagal disampaikan. Apa sebab? Peserta didik tidak diajak untuk mencermati realitas di sekitar mereka. Rumus fisika bisa cukup mudah dimengerti kalau pembelajarannya berangkat dari realitas terdekat.

Kurang lebih tahapan itu berlangsung dari mencermati realitas, menalar fakta, menemukan konsep, memahami rumus lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Tahapan ini beririsan dengan budaya literasi yang tidak sekadar dipahami sebatas gerakan membaca teks. Nalar berpikir yang berpijak pada alam realitas adalah core dari kegiatan literasi.

Sayangnya, kita menggampangkan tahapan belajar menalar, sehingga peserta didik atau bahkan penggiat literasi kerap terjebak pada pengertian literasi yang minimalis.

Padahal teks yang tersaji, baik yang ditulis sebagai firman Tuhan maupun buku-buku bacaan, termasuk bermacam-macam sub bidang literasi: literasi kesehatan, literasi digital, literasi data dan sebagainya--semua itu merupakan "produk jadi". Peserta didik atau pihak yang jadi sasaran pemberdayaan literasi tahu jadi dan tinggal menelannya.

Kita sepakat, jenis-jenis literasi itu semacam rumus atau formula yang harus dikuasai. Adapun bagaimana dan mengapa-nya kita jarang mengajak peserta didik untuk mengkritisi realitas, menalar, menemukan konsep dan menjadikannya "rumus" saat bertindak dan bersikap.

Akibatnya, gerakan literasi kita tak ubahnya zombie yang bergentayangan ke sana ke mari tanpa makna dan hikmah karena tidak dihidupi oleh "roh" menalar.

Ini baru keprihatinan pada satu aspek tekstual dan kesanggupan menalar. Dua aspek berikutnya, meng-iqra' lingkungan sebagai bagian dari semesta yang diciptakan Tuhan serta menggali dan mengenali diri masih jauh dari misi literasi.

Seprihatin-prihatinnya kita terhadap kenyataan literasi dan daya nalar, saya tetap optimis dan bersyukur. Cahaya kebangkitan memancar semburat dari ufuk timur.[]

Jagalan, 7 Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun