Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Pejabat dan Penguasa Dianimasi Jadi Pemimpin

20 Januari 2019   16:55 Diperbarui: 20 Januari 2019   17:42 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lantas, apa kata Sengkuni yang merasuki jiwa Pak Kandeg? "Wahai kalian yang berkuasa di zaman ini. Kalian pernah mengalami penderitaan apa sehingga kalian tega memutilasi nasib rakyat kalian sendiri?"

Pak Kandeg tetap tidak rela Mas Bagus jadi pejabat yang dianimasikan sebagai pemimpin. Apalagi pada setiap orang, setiap pejabat, setiap penguasa menyimpan potensi kerusakan Sengkuni.

Panggung Dramaturgi Debat Capres

Istilah dramartugi saya pinjam dari Sosiolog asal Kanada, Erving Goffman. Manusia bermain di dua panggung sekaligus: panggung depan dan panggung belakang, demikian teori dramaturgi menjelaskan. Debat calon presiden adalah panggung depan. Mereka yang tampil di panggung depan dituntut untuk tampil sebagai sosok pribadi yang cerdas, humoris, merakyat.

Lebih dari itu, panggung kampanye adalah panggung depan yang akan disorot oleh media. Televisi dan media sosial menjadi ruang untuk menampilkan citra diri yang positif, sekaligus menelanjangi citra diri negatif lawan.

Pertempuran di media sosial tak bisa dihindari. Para Timsu dan pendukung akan menampilkan aktor jagoannya sebagai figur yang sempurna, walaupun untuk itu, sering pula menyajikan sisi negatif lawan. Berita bohong, hoaks dan fitnah menemukan pintu masuknya.

Sayangnya, perdebatan yang menyentuh diskursus substansial dan isu mendasar terbungkus oleh retorika dramaturgi. Calon presiden dibebani oleh juklak juknis menjaga citra pesona diri layaknya aktor yang harus patuh pada script pertunjukan.

Kita jadi gampang dijebak dan terpesona oleh performa siapa, pelakunya siapa, calonnya siapa. Harus dipastikan jadi apa dulu baru didengarkan pendapatnya. Yang tidak jadi apa-apa atau sekadar jadi rakyat biasa harus berteriak-teriak supaya didengarkan suaranya.

Lalu, menjadi apa adalah memperoleh kursi, menduduki jabatan, memegang tali-tali simpul kekuasaan. Orang mendaki puncak apa demi menunjukkan diri aku siapa. Baliho foto para caleg yang menjadi penunggu pohon, nampang di perempatan jalan, eksis di bawah lampu merah adalah fenomena orang menonjolkan dirinya siapa.

Di tengah animasi kepemimpinan itu terdengar suara yang berteriak lantang: "Di negeri ini Sengkuni adalah harga mati!"[]

Jombang, 20 Januari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun