Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Pejabat dan Penguasa Dianimasi Jadi Pemimpin

20 Januari 2019   16:55 Diperbarui: 20 Januari 2019   17:42 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluarga Pak Kandeg sedang membincangkan masa depan anaknya. Mas Bagus akan menjadi pejabat. Keberhasilan karir politik Mas Bagus yang dijamin oleh Timsu atau Tim Sukses justru meresahkan hati Pak Kandeg.

Ini sikap orangtua yang tidak lazim. Pak Kandeg tidak sependapat dengan pilihan hidup anaknya yang bercita-cita ingin jadi pemimpin. Persoalannya, menurut Pak Kandeg, pejabat adalah pejabat, tidak bisa disamakan dengan pemimpin.

"Sekarang pejabat dianimasi jadi pemimpin," ucap Pak Kandeg.

Cuplikan adegan tersebut saya ambil dari Sengkuni2019 yang ditulis Emha Ainun Nadjib. Dimainkan oleh Teater Perdikan pada 12-13 Januari 2019 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.

Animasi Pemimpin

Ucapan Pak Kandeg kepada Mas Bagus mempengaruhi selera saya mengikuti debat capres-cawapres. Hiruk pikuk pengamat dan para pendukung masing-masing pasangan terasa hambar. Panggung animasi telah dimulai jauh sebelum penampilan jagoan mereka tampil di acara debat yang pertama.

Menurut Freed Greensteinndari Princeton University, ada enam kualitas yang semestinya dimiki oleh presiden. Keenam kualitas yang belum ditampilkan seutuhnya ke hadapan publik adalah komunikasi publik, kapasitas organisasi, kemampuan politik, visi, gaya kognitif, dan kecerdasan emosional.

Debat calon presiden telah disulap. Ada yang mengatakan seperti kuis, ujian sekolah, lomba pidato--namun semua penilaian itu merupakan versi yang multitafsir, sesuai kaca mata kepentingan dan sudut pandang.

Omongan Pak Kandeg soal animasi pemimpin merasuki saya, sebagaimana ia dirasuki suara Sengkuni yang berdengung-dengung dalam ruang batinnya.

Pejabat, pemerintah dan penguasa dianimasi sebagai pemimpin. Pejabat adalah pemimpin. Pemerintah adalah pemimpin. Penguasa adalah pemimpin. Mas Bagus yakin bahwa peluang jadi pemimpin adalah panggilan zaman.

Pak Kandeg bereaksi keras. "Pemimpin tidak mencari kursi. Pemimpin tidak rebutan jabatan. Pemimpin tidak berburu kekuasaan. Pemimpin memerangi dirinya, menaklukkan nafsu rendah ambisinya, mengendalikan syahwat kekuasaan yang meledak-ledak."

Lantas, apa kata Sengkuni yang merasuki jiwa Pak Kandeg? "Wahai kalian yang berkuasa di zaman ini. Kalian pernah mengalami penderitaan apa sehingga kalian tega memutilasi nasib rakyat kalian sendiri?"

Pak Kandeg tetap tidak rela Mas Bagus jadi pejabat yang dianimasikan sebagai pemimpin. Apalagi pada setiap orang, setiap pejabat, setiap penguasa menyimpan potensi kerusakan Sengkuni.

Panggung Dramaturgi Debat Capres

Istilah dramartugi saya pinjam dari Sosiolog asal Kanada, Erving Goffman. Manusia bermain di dua panggung sekaligus: panggung depan dan panggung belakang, demikian teori dramaturgi menjelaskan. Debat calon presiden adalah panggung depan. Mereka yang tampil di panggung depan dituntut untuk tampil sebagai sosok pribadi yang cerdas, humoris, merakyat.

Lebih dari itu, panggung kampanye adalah panggung depan yang akan disorot oleh media. Televisi dan media sosial menjadi ruang untuk menampilkan citra diri yang positif, sekaligus menelanjangi citra diri negatif lawan.

Pertempuran di media sosial tak bisa dihindari. Para Timsu dan pendukung akan menampilkan aktor jagoannya sebagai figur yang sempurna, walaupun untuk itu, sering pula menyajikan sisi negatif lawan. Berita bohong, hoaks dan fitnah menemukan pintu masuknya.

Sayangnya, perdebatan yang menyentuh diskursus substansial dan isu mendasar terbungkus oleh retorika dramaturgi. Calon presiden dibebani oleh juklak juknis menjaga citra pesona diri layaknya aktor yang harus patuh pada script pertunjukan.

Kita jadi gampang dijebak dan terpesona oleh performa siapa, pelakunya siapa, calonnya siapa. Harus dipastikan jadi apa dulu baru didengarkan pendapatnya. Yang tidak jadi apa-apa atau sekadar jadi rakyat biasa harus berteriak-teriak supaya didengarkan suaranya.

Lalu, menjadi apa adalah memperoleh kursi, menduduki jabatan, memegang tali-tali simpul kekuasaan. Orang mendaki puncak apa demi menunjukkan diri aku siapa. Baliho foto para caleg yang menjadi penunggu pohon, nampang di perempatan jalan, eksis di bawah lampu merah adalah fenomena orang menonjolkan dirinya siapa.

Di tengah animasi kepemimpinan itu terdengar suara yang berteriak lantang: "Di negeri ini Sengkuni adalah harga mati!"[]

Jombang, 20 Januari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun