Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kesadaran Literasi Vs Skill Literasi

19 Desember 2018   15:06 Diperbarui: 20 Desember 2018   04:07 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dok. Pribadi/Hariadi

Beberapa hari lalu saya berkesempatan ngobrol dengan Gola Gong di Balai Kopi Rakyat Jombang dalam acara tour literasi Jawa Timur. Acara digelar santai, lesehan, dan dihadiri kawan-kawan pegiat Taman Baca Masyarakat, penulis dan aktivis pendidikan.

Yusron Aminullah, founder Menebar Energi Positif (MEP) membuka acara dengan terlebih dahulu member kloso untuk kawan-kawan yang hadir. "Infrastruktur fisik seperti jalan yang bolong segera ditambal. Lantas, siapa yang menambal pikiran masyarakat yang bolong-bolong?" tanya Cak Yus.

Saya terusik dengan sindiran Cak Yus. Ah, apa iya pikiran masyarakat kita sedang bolong? Apakah mereka menyadari pikiran yang bolong-bolong itu? 

Sentilan Cak Yus di awal acara membangunkan kesadaran kita yang tengah terbuai oleh keberhasilan pembangunan fisik. Gerakan literasi yang dijadikan ujung tombak "bangunlah jiwanya" terasa senyap.

Setali tiga uang dengan Cak Yus, pemaparan Gola Gong menguatkan pengertian literasi yang bukan sekadar gerakan mendirikan rumah baca atau taman bacaan. Gola Gong bercerita bagaimana periode awal perjalanan hidupnya, ketika ia baru duduk di sekolah dasar, berkat buku-buku bacaan berbagai genre yang disodorkan oleh Bapaknya--merupakan periode membangun kesadaran literasi yang mengakar dalam jiwanya hingga sekarang.

Saya menemukan kata kunci yang dianggap remeh: kesadaran literasi. Gola Gong menandaskan literasi adalah upaya untuk menghadirkan hidup yang lebih baik. Upaya mulia ini diawali dengan membangun kesadaran literasi terlebih dahulu.

Sayangnya, kita terjebak pada cara berpikir short cut: literasi dipahami sebagai kemampuan membaca teks dan menghitung numerik. Definisi literasi yang minimalis itu menjebak kita pada praktek literasi yang cupet, cekak dan cingkrang. Literasi adalah membaca buku sebelum pelajaran resmi sekolah dimulai.

Literasi yang dipahami dan dipraktekkan secara minimalis akan bertumpu pada kepentingan skill atau keterampilan teknis, lalu menerapkannya sesuai jenis-jenis literasi, seperti literasi kesehatan, literasi finansial, literasi digital, literasi data dan sebagainya.

Kita lengah dan terburu-buru. Kemampuan teknis dan jenis-jenis skill literasi adalah buah atau output dari kesadaran yang substansial. Ibarat pohon, kesadaran literasi adalah akar atau oyot. Membangun gerakan literasi tanpa memastikan kesehatan akar tak ubahnya menanam pohon plastik. Indah tapi tidak bisa dinikmati rasa manis buahnya.

Kesadaran literasi menemukan tantangannya manakala pola interaksi masyarakat semakin cair dan encer. Individualisme memangsa kemesraan hidup bebrayan. Pelan dan pasti interaksi sosial komunal bergeser ke pola individual.

Cerdas literasi, apalagi dibangun oleh parameter berbasis skill individual, tidak menjamin upaya pemberdayaan masyarakat dalam tataran hidup komunal menuai hasil yang menggembirakan. Menurunnya angka buta huruf tidak berbanding lurus dengan menurunnya berita hoaks. Skill literasi yang tidak dihidupi oleh kesadaran literasi akan menghasilkan produk kata-kata yang menjelma jadi mesiu dan senjata pembunuh masal.

Lantas, kesadaran literasi macam apa yang semestinya ditanam sebagai benih yang kelak akan tumbuh menjadi pohon yang rindang?

Jawabannya tentu beragam sesuai sudut pandang, cara pandang, kepentingan pandang, resolusi pandang dan seterusnya. Pada kesempatan ngobrol di Balai Kopi Rakyat, malam itu saya menawarkan beberapa poin. Gerakan literasi bangsa ini berbasis huruf atau berbasis aksara? Mengapa kita tidak membangun kesadaran komunal untuk menghidupi literasi sesuai kenyataan sosiologis-antropologis masyarakat setempat?

Atau mengapa pula gerakan literasi tidak diberangkatkan dari tantangan dan problematika sosial politik budaya ekonomi dari lingkar paling kecil yang dimulai dari RT, RW dan dusun? Bagaimana menemukan akar kesadaran komunal sehingga Kampung Literasi hadir begitu nyata menjadi bagian dari gerakan pemberdayaan warga setempat?

Model gerakan, program, pola komunikasi, juklak-juknis atau software-hardware literasi tidak harus men-Jakarta. Yang di Jombang jadilah wong nJombang. Yang Semarang jadilah orang Semarang. Yang Batak jadilah orang Batak--dengan berbagai konteks sosiologis antroplogis masing-masing. Kita baca dan temukan kembali DNA kita sebagai bangsa.

Pada konteks kesadaran itu saya sependapat dengan Daniel M. Rosyid, "Pada saat capaian pendidikan kita yang diukur melalui PISA dan TIMS tetap di papan bawah, kita tidak perlu merasa terintimidasi dengan kriteria yang ditetapkan oleh negara-negara yang dengan congkak menyebut dirinya "negara maju" itu. Negara-negara model itu saat ini menghadapi masalah yang sama, yakni makin terjerumus dalam utang, perubahan iklim dan pemanasan global, ancaman perang nuklir, dan keruntuhan sosial serta kehancuran nilai-nilai berkeluarga."

Tentu saja sikap semacam itu bukan dalam rangka menutup diri dari pergaulan global. Yang mendesak adalah menemukan kembali jiwa bangsa kita di tengah arus global, kecuali kita rela kehilangan jati diri sebagai bangsa.

Gerakan literasi menempati posisi strategis di tengah dinamika kehidupan masyarakat yang kerap terlena oleh kemajuan fisik yang semu. Padahal kita semua hafal salah satu lirik lagu Indonesia Raya, "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya..."

Jombang, Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun