Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kesadaran Literasi Vs Skill Literasi

19 Desember 2018   15:06 Diperbarui: 20 Desember 2018   04:07 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dok. Pribadi/Hariadi

Lantas, kesadaran literasi macam apa yang semestinya ditanam sebagai benih yang kelak akan tumbuh menjadi pohon yang rindang?

Jawabannya tentu beragam sesuai sudut pandang, cara pandang, kepentingan pandang, resolusi pandang dan seterusnya. Pada kesempatan ngobrol di Balai Kopi Rakyat, malam itu saya menawarkan beberapa poin. Gerakan literasi bangsa ini berbasis huruf atau berbasis aksara? Mengapa kita tidak membangun kesadaran komunal untuk menghidupi literasi sesuai kenyataan sosiologis-antropologis masyarakat setempat?

Atau mengapa pula gerakan literasi tidak diberangkatkan dari tantangan dan problematika sosial politik budaya ekonomi dari lingkar paling kecil yang dimulai dari RT, RW dan dusun? Bagaimana menemukan akar kesadaran komunal sehingga Kampung Literasi hadir begitu nyata menjadi bagian dari gerakan pemberdayaan warga setempat?

Model gerakan, program, pola komunikasi, juklak-juknis atau software-hardware literasi tidak harus men-Jakarta. Yang di Jombang jadilah wong nJombang. Yang Semarang jadilah orang Semarang. Yang Batak jadilah orang Batak--dengan berbagai konteks sosiologis antroplogis masing-masing. Kita baca dan temukan kembali DNA kita sebagai bangsa.

Pada konteks kesadaran itu saya sependapat dengan Daniel M. Rosyid, "Pada saat capaian pendidikan kita yang diukur melalui PISA dan TIMS tetap di papan bawah, kita tidak perlu merasa terintimidasi dengan kriteria yang ditetapkan oleh negara-negara yang dengan congkak menyebut dirinya "negara maju" itu. Negara-negara model itu saat ini menghadapi masalah yang sama, yakni makin terjerumus dalam utang, perubahan iklim dan pemanasan global, ancaman perang nuklir, dan keruntuhan sosial serta kehancuran nilai-nilai berkeluarga."

Tentu saja sikap semacam itu bukan dalam rangka menutup diri dari pergaulan global. Yang mendesak adalah menemukan kembali jiwa bangsa kita di tengah arus global, kecuali kita rela kehilangan jati diri sebagai bangsa.

Gerakan literasi menempati posisi strategis di tengah dinamika kehidupan masyarakat yang kerap terlena oleh kemajuan fisik yang semu. Padahal kita semua hafal salah satu lirik lagu Indonesia Raya, "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya..."

Jombang, Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun