Badan dan pakaian saya benar-benar kumal. Setelah sejak pagi, lanjut hingga siang dan terpaksa harus berakhir karena senja telah mengambang di ujung sore---perburuan mengejar layang-layang putus untuk hari ini dihentikan sementara. Sebentar lagi gelap. Kecepatan angin pun tidak nggebes lagi.
Saya persis gelandangan. Sehari penuh bermain di luar rumah, di siang yang cukup terik, lupa makan, lupa mandi. Di mata Bapak, saya adalah bocah kecil yang maniak bermain layang-layang. Hingga hari hampir gelap saya lupa rumah dan baru pulang setelah seseorang utusan Bapak menyuruh saya pulang.
Duduk di samping Bapak, mulut saya terkunci. "Mau bermain layang-layang sampai jam berapa? Jam tujuh malam, jam sepuluh atau sampai subuh?" Pertanyaan Bapak adalah pertanyaan yang membesarkan hati tapi sekaligus menelanjangi. Situasi seperti ini membuat mulut saya semakin tertutup rapat. Saya tidak menjawab karena Bapak tidak membutuhkan jawaban dari saya.
Sesaat kemudian nasihat Bapak ambrol bergulung-gulung. Saya dilempar ke berbagai sudut kenyataan yang menyadarkan saya bahwa apa yang saya dengar bukan sekadar nasihat. Bapak tengah mengajak saya menjelajah kesadaran kosmologi.
Serius ini. Hingga usia dewasa masih terbayang "peta kosmologi" itu di pikiran saya. Cobalah Anda tarik kembali ingatan menuju pengalaman masa kecil. Bagaimana orangtua kita, Bapak atau Ibu kita, memberi nasihat. Mereka selalu menggunakan tiga dimensi waktu yang alur perjalanannya nyaris sama.
Tiga dimensi waktu itu adalah masa lalu, masa kini dan masa depan. Namun, yang menarik adalah tiga dimensi waktu itu diramu sedemikian rupa hingga menjadi "rumus baku" untuk membangun sekaligus membangunkan sikap berpikir kita. Rumus baku itu tampak dari nasihat Bapak saya. Beliau mengatakan, "Kalau kamu sekarang jadi anak pemalas...., besok-besok mau jadi apa? Dahulu Bapakmu ini..."
Perhatikan urutannya: sekarang, besok-besok, dahulu. Ia merefleksikan tiga alur perjalanan waktu: masa kini (sekarang dan disini), masa depan dan masa lalu. Rumus baku alur perjalanan waktu itu diterapkan nyaris oleh setiap orang tua, terutama di tanah Jawa, untuk menasihati anaknya.
Bukankah hal itu merupakan wujud kesadaran kosmologi orangtua zaman dahulu---kosmologi sangkan paraning dumadi? Kesadaran kosmologi yang dalam sisi dan konteks tertentu mengatasi konsep kosmologi Stephen Hawking.
Semoga tidak berlebihan ketika kosmologi model orangtua zaman old disandingkan dengan konsep Stephen Hawking. Pola perjalanan waktu dari sekarang ke masa depan, kemudian mundur ke masa lalu, bukan diskursus filsafat yang bagaikan bayangan hantu. Ia bukan hanya hadir secara cukup nyata---kesadaran kosmologi orangtua zaman dahulu adalah semacam aplikasi untuk memandu jalannya hidup.
Penilaian Bapak bahwa saya anak yang malas mandi dan malas belajar diberangkatkan dari kenyataan faktual sekarang dan disini. Nyatanya, hingga hari menjelang gelap badan dan pakaian saya mirip gelandangan. Saya terlalu asyik bermain layang-layang. Lalu saya dilemparkan ke masa depan. Kalau kenyataannya terus seperti ini "Besok-besok kamu akan jadi apa?"
Saya menangkap refleksi yang dahsyat. Apa yang tengah kita kerjakan saat ini, sekarang, disini ini getaran dan alirannya nyambung seketika---saat ini juga, detik ini juga---dengan titik silang ruang dan waktu masa depan. Lebih jauh lagi, dunia (sekarang dan disini) adalah bagian dari akhirat (masa depan).
Mata pandang kita ternyata tidak harus selalu melihat masa depan. Sesekali atau dalam momentum tertentu mata pandang diarahkan ke belakang. Setelah saya diajak terbang ke masa depan, Bapak menarik anak panah ke belakang. "Dahulu, zaman Bapak masih kecil..." Refleksinya adalah melesat jauh ke masa depan harus seraya mengenali akar sejarah masa lalu. Partikel-partikel kanvas DNA masa lalu mewarnai lukisan masa depan.
Hal itu sebenarnya logis dan wajar. Kalau akar sejarah kita adalah bangsa Nusantara, jadilah bangsa Nusantara. Kalau partikel kesadaran akar kita adalah Garuda, jadilah Garuda. Kalau kita orang Jawa, jadilah orang Jawa. Kalau kita orang Bugis, jadilah orang Bugis. Baik sebagai individu maupun bangsa kita berproses menjadi individu dan bangsa yang otentik. Membangun rumah kejayaan masa depan memerlukan fondasi masa lalu yang kokoh.
Jadi, alur perjalanan masa kini (sekarang), masa depan, masa lalu adalah gerakan spiral---rotari dan linier sekaligus. Kita bisa menggunakan "mesin waktu" ini, misalnya sebagai cara pandang untuk mencermati tahun politik 2018-2019, menilai para Cagub dan Cawabup, atau untuk mengatasi persoalan hidup sehari-hari. Monggo sak kerso panjenengan. []
Jombang, 15 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H