Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berjalan Kaki Sambil Memetik Inspirasi

21 Desember 2017   01:20 Diperbarui: 21 Desember 2017   20:07 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Efek terapi yang menenangkan itu dibutuhkan untuk tahap awal menyalakan mesin kreativitas. Badan hangat pikiran tenang. Usai menjalankan shalat Subuh, saatnya menggerakkan tubuh, keluar dari rumah, lalu berjalan kaki.

Sederhana memang, namun dengan berjalan kaki tubuh dan kesadaran kita akan berinteraksi dengan dunia, dengan lingkungan, dengan bunga, dengan penjual ketan, dengan bau tanah yang basah di pagi hari, dengan udara, embun, angin, bisikan suara hati, lompatan pemikiran---pokoknya berinteraksi dengan segala kenyataan yang tampak maupun yang tidak tampak.

Diselingi aroma Kayu Putih Aroma yang meruap ke dalam pernafasan, kita berjalan kaki secara rileks. Mesin kreativitas akan mengerjakan sendiri tugasnya. Selama berjalan kaki, kesadaran tetap hening namun penuh isi. Hingga inspirasi bagaikan cahaya yang berpendar-pendar. Kita pun tinggal memetiknya.

Semua itu tidak selalu berlangsung lama---kadang bahkan dalam hitungan detik, berkelebat dalam kilatan cahaya yang benderang.

Kesadaran menyemesta ini tengah diidamkan banyak pelaku dan tokoh penting di industri digital. Ekosistem kerja yang memerlukan kreativitas tingkat tinggi. Tidak heran apabila Marc Zuckerberg, Jack Dorsey, Marc Andreessen dan Steve Jobs adalah para penggemar jalan kaki. Kabarnya, di Silicon Valley rapat-rapat penting untuk memacu ide dan kreativitas tidak lagi dilakukan dengan duduk rapi di ruang tertutup, melainkan sambil berjalan di sebuah taman.

Khasanah untuk memantik ide kreatif yang brilian dan memiliki nilai manfaat untuk kemanusiaan juga diabadikan oleh manusia Jawa menjadi nama Malioboro. Dua suku kata: Malio-Boro, artinya Malio (jadilah Wali, Kekasih Tuhan) dan Boro (yang mengembara). Jadilah Kekasih Tuhan, Duta Tuhan di bumi yang mengembara---mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan, menjelajahi intelektualitas, menguak cakrawala kreativitas, berkelana di langit rohani.

Nenek moyang bangsa Nusantara ternyata ampuh-ampuh. Teknologi internal batin mereka dahsyat. Mereka adalah para pejalan kaki yang tangguh. Benar apa yang dikatakan Nietzsche: All truly great thoughts are conceived by walking. Bagaimana dengan people zaman now? Apakah kita masih mengeluh sedang tidak punya ide dan gagasan? []

Jombang, 21 Desember 2017

Facebook: Achmad Saifullah Syahid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun